Mengamati Burung, Hobi menjadi Pekerjaan

DeMalang.ID-Waskito Kukuh Wibowo, menyukai aktivitas jalan-jalan di alam. Ia tak menyangka hobi pengamatan  burung di alam bakal menjadi pekerjaan utamanya. Pemuda lulusan Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (MIPA) Universitas Negeri Yogyakarta memulai pengamatan burung sejak 2009. Tahun kedua kuliah, ia bergabung Kelompok Pengamatan Burung (KPB) Bionik dalam ekspedisi burung Trulek jawa (Vanellus macropterus).

“Saat itu merasakan kegiatannya tidak bermanfaat, nongkrong saja. Gabung KPB Bionik setelah baca selebaran ekspedisi burung Trulek Jawa yang hampir punah. Ingat tontonan Animal Planet, Natgeo,” katanya. Trulek Jawa merupakan salah satu burung air, yang keberadaannya terikat dengan lahan basah mulai rawa. persawahan dan muara sungai. Burung endemik Jawa berstatus kritis ini, habitatnya di dekat pesisir.  Diperkirakan populasinya sekitar 50 individu dewasa.

Namun, selama eskpedisi ia dan anggota KPB Bionik tidak sekalipun mengalami perjumpaan langsung dengan Trulek Jawa. Berdasar penuturan warga setempat, Trulek Jawa masih ada dan pernah menemui di alam. Namun, mereka menyimpulkan indentifikasi penduduk lokal kurang tepat terhadap jenis burung.

“Ekspedisi serupa berulang dilalukan oleh pengamat burung. Hasilnya sama, hanya cerita dari penduduk lokal,” katanya. Terakhir 2014, ia melakoni ekspedisi bersama teman yang tengah mendapat pendanaan untuk penelitian Trulek Jawa di Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jawa Timur, mereka menelususri mulai pesisir selatan Malang sampai Jember. Dan pesisir selatan dan utara Jawa Tengah. Namun, mereka tidak pernah menjumpai langsung Trulek Jawa di alam.

KPB Bionik menjadi wadah Wasikto yang suka  jalan-jalan. Namun, tak sekadar jalan-jalan tapi juga melakukan pengamatan burung. Sehingga lambat laut keranjingan mengamati burung di alam, sensasi melihat burung dengan bulu beraneka warna menari di atas dahan dan kicauannya membuat candu. Ia rela menabung, menyisihkan uang untuk berkelana ke alam melihat dan mengamati burung di alam liar.

Mulai 2016, ia menyadari jika hobi pengamatan burung menjadi pekerjaan utamanya setelah ia melayani turis mancanegara. Tak hanya materi, ia juga mengaku puas karena aktivitasnya juga menjadi bagian usaha konservasi yang selama ini dilakoninya. “Bird watching tour kategori wisata minat khusus. Potensinya besar dan belum banyak yang menggarap,” katanya.

Sebagai operator sekaligus pemandu, ia terbiasa menyiapkan kebutuhan selama pengamatan burung. Salah satunya menyediakan paket pengamatan burung Jawa-Bali selama 14 hari. Peminat banyak berasal dari turis mancanegara. Mulai wisatawan dari Prancis, Inggris, Hongkong, Amerika, dan berkembang negara di Asia mulai Singapura, dan India. “Potensinya besar, belum digarap optimal,” katanya.

Mendirikan Birdpacker

Waskito bersama sesama pengamat burung mendirikan Birdpacker berbentuk Yayasan yang menaungi penelitian burung berbasis citizen science dan tour operator wisata minat khusus. Birdpacker berbasis di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur. Melihat peluang di Jatim besar, belum banyak tour operator atau agensi yang mengelola pengamatan burung.

Ia mulai mengembangkan jejaring dengan tour operator dan warga masyarakat lokal. Dengan melibatkan banyak orang dan mendapat manfaat, terutama turut menjaga kelestarian burung di alam.  Hobi mengamati burung juga menular ke wisatawan domestik. Bahkan, meningkat pesat saat pandemi Covid-19. Mereka beralih pengamatan burung, lantaran lebih banyak di hutan dan jarang kontak manusia.

Seorang wisatawan membidikkan lensa kamera di hutan alam bebas mengamati burung. Foto: Waskito Kukuh Wibowo.

“Toko kamera di Bali menyebut penjualan lensa wildlife dan sport meningkat saat pandemi,” katanya. Saat pandemi, pada pertengahaan 2021 sampai awal 2022 rata-rata sebulan ia harus melakoni empat kali trip. Termasuk trip pendek selama sehari sampai dua hari di sekitar Batu. Sedangkan turis mancanegara ramai pada periode akhir tahun mulai Agustus.

Meski dikendalikan dari Batu, Waskito turut berperan mengembangkan wisata minat khusus di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jatimulyo menjadi model percontohan pengamatan burung di alam. Pemerintah Desa Jatimulyo memiliki Peraturan Desa yang melarang perburuan satwa, termasuk burung, turut menjaga mata air, dan pengelolaan sampah desa.

Kawasan hutan rakyat Desa Jatimulyo, menjadi habitat burung Sulingan atau Sikatan Cacing keluarga Muscicapidae dan genus Cyornis. Burung endemik Jawa-Bali yang berstatus kritis. Hutan rakyat ini berada di kawasan pegunungan Menoreh menjadi habitat burung Cucak kuning (Pycnonotus melanicterus), Elang alap jambul (Accipiter trivirgatus), Udang api (Ceyx erithaca), Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris).

Sejumlah pihak dilibatkan, termasuk bekas pemburu burung seperti Kelik Suparno. Kelik memburu  burung di alam dan memasoknya ke para kicaumania. Turis mancanegara diajak mengamati burung sembari makan tumpeng, jajanan lokal dan merasakan aneka masakan khas warga setempat. “Turis mancanegara ingin tahu budaya dan merasakan pengalaman yang berbeda,” katanya.

Desa Jatimulyo kini mengembangkan adopsi sarang burung.  Publik diundang berdonasi untuk turut menjaga dan memonitoring sampai burung menjadi individu dewasa dan meninggalkan sarang. Adopsi sarang burung mendapat respons positif, banyak warga yang peduli dan berdonasi dan turut menjaga populasi burung langka di habitatnya.

Untuk pengamatan burung, masing-masing wajib membawa teropong, dan buku panduan identifikasi burung. Sedangkan khusus kawasan sabana dan kawasan pesisir harus menggunakan teropong jarak jauh. Selain itu, kadang bawa speaker atau alat perkam suara burung. Tujuannya, memancing burung dengan suara kicuan.

“Juga kamera untuk dokumentasi kegiatan. Berikut buku catatan menulis jenis burung, jumlah, aktivitas yang unik, lokasi, tanggal pengamatan, cuaca dan nama yang ikut pengamatan,” ujarnya. Data tersebut diakodasi di aplikasi burungnesia yang dikembangkan birdpacker. Data yang dikumpulkan, katanya, menjadi data untuk buku Atlas Burung Indonesia. Berisi data berupa jenis, sebaran, dan status.

Birdpacker juga menghasilkan buku identifikasi burung  Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali). Buku ini bermanfaat untuk memandu dan mengenali burung di kawasan Sunda Besar. “Bagi pemula, ini menjadi buku wajib untuk dimiliki,” katanya.

Keliling Nusantara

Waskito mengaku telah berkeliling Nusantara mengamati burung mulai di seluruh kawasan di Jawa, Jambi, Lampung,  Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara, Timor, Papua dan Papua Barat. “Belum pernah ke Maluku, menabung dulu untuk bisa ke sana,” katanya.

Pengamatan burung di Gunung Kerinci dan Timor menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Ia melakukan pengamatan selama 10 hari di Gunung Kerinci. Selama sepuluh malam, bermalam di hutan vegetasi akhir di Gunung Kerinci. Sekaligus, menjadi pengalaman pertama menginap dalam jangka waktu lama di alam. “Bangun tidur, terdengar suara satwa mulai primata, aneka jenis burung semak dan tajuk atas,” katanya.

Bahkan menjadi pengalaman konyol dan nyaris merenggut jiwa. Lantaran, bersama teman-temannya memaksakan diri sampai ke puncak Kerinci. Namun, saat turun kabut tebal menyergap. Jika bertahan, ia tak memiliki bekal logistik yang cukup. Jika memaksakan turun, jalur tak terlihat jelas. Berbahaya. “Kita pengamat burung, tidak usah terlalu ngoyo mendaki ke puncak. Fokus pengamatan burung. Jika mau mendaki, ya diagendakan sendiri,” katanya.

Burung pelatuk ayam (Dryocopus javensis) hasil dokumentasi birdpacker. Foto: Waskito Kukuh Wibowo

Selain itu, kepulauan Timor menjadi salah satu tempat yang tak bisa dilupakan. Lantaran pada 2018 ia turut ekspedisi mengamati burung Bondol hijau mutis (Erythrura sp.). Statusnya belum sah secara pengetahuan, masih misteri, katanya, lantaran belum ditulis dalam karya ilmiah dan jurnal. Namun, ia berhasil mengamati si Bondol hijau mutis di kaki Gunung Mutis.

Sebagai pengamat burung, Waskito menghadapi tantangan untuk memiliki pengetahuan mengenai burung, populasi, sebaran, jalur, transportasi, perizinan dan jejaring dengan masyarakat lokal. Sehingga, ia harus terus melakukan riset aneka jenis burung sesuai kebutuhan pelanggannya.

Sedangkan bagi pemula, Waskito memberikan tips agar sering turun ke lapangan. Mengamati burung apa saja di sekitar rumah. Cukup menggunakan teropong dengan dua lensa, perbesaran 8 milimeter, berdiameter 32 milimeter atau 42 milimeter. “Alat mulai murah, terjangkau. Kualitas lumayaan. Cari murah dulu, jika serius bisa investasi membeli alat lain,” ujarnya.

Jika sudah terbiasa, bisa melanjutkan berjalan-jalan di menikmati kawasan hutan. Melihat aneka burung warna warni, dan mulai sulit karena tertutup tajuk. Di Jawa Timur, katanya, bisa dimulai di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Kawah Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Baluran, atau Coban Talun di Batu. Selanjutnya, bisa mengamati aneka burung pesisir di Surabaya atau Probolinggo.

“Akses mudah, bisa dijangkau kendaraan roda empat,” ujarnya. Waskito menuturkan tidak menyalahkan penghobi kicaumania. Namun, harus seimbang dan adil, antara alam, satwa dan manusia. Dalam salah satu pilar konservasi, ujar Waskito, bisa memanfatkan flora dan fauna di alam. Tapi harus bijak dan berkelanjutan.

Waskito tengah tertantang untuk membuat konten visual di media sosial. Caranya dengan menyediakan informasi tentang asyiknya pengamatan burung di alam. Kicau burung di alam lebih indah, dan bisa menikmatinya sambil berjalan-jalan.  “Tidak harus menunaikan kewajiban agar burung sehat dan hidup. Tanggungjawabnya gede,” katanya.

Ia mengelola dua channel Youtube yakni, Waskito Wibowo dan Birdpacker. Namun, belum ditekuni secara optimal. Konten tersebut diharapkan bisa mengimbangkan konten yang berkelindan di Youtube seperti cara memikat burung di alam, mastering dan menembak. Sedangkan sangat sedikit yang menginformasikan keindahan dan manfaataan burung di alam. EKO WIDIANTO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *