DeMalang.ID-–Puluhan pasang sendal perempuan model rindu tertata rapi di etalasi ruang pamer Cantuka Kreatif, Jalan Ikan Tombro Nomor 56, RT 04, RW 04, Kelurahan Tunjungsekar, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Siapa sangka jika sepatu beralas kayu itu menggunakan kain olahan bekas diapers atau popok sekali pakai. Bukan imitasi atau kulit lembu.
Di tangan Yunita Lestari Ningsih, 43 tahun, diapers diolah menjadi kriya seni bernilai ekonomis. Cara mengolahnya, diapers dicuci untuk menghilangkan kotoran dan urine. Lantas popok direndam dalam air bercampur detergen selama tiga jam. Kemduian, gel di dalam diapers dikeluarkan, selanjutnya kain pelapis popok dibilas dengan air mengalir. “Lantas direndam dengan desinfektan,” kata Yunita yang juga kader lingkungan Kelurahan Tunjungsekar.
Kain lapisan popok ini yang kemudian disambung dengan mesin pemanas hingga 150 derajat celsius. Selanjutnya, dilapisi cat water proof atau cat kayu sesuai keinginan. Sehingga menyerupai kain sintetis atau imitasi. Lembaran kain ini dicetak dan dipotong sesuai kebutuhan ukuran kaki. Setiap sendal dijual seharga Rp 70 ribu.
Selain itu, lembaran kain bekas popok bisa diolah menjadi aneka tas cantik. Tas dijual seharga Rp 125 ribu sampai Rp 150 ribu. Yunita juga mendesain dompet cantik yang dijual seharga Rp 100 ribu. Sendal ini laris manis di loka pasar alias marketplace. Pada November 2021 lalu, terjual 1000 pasang sendal melalui program Stimulus Bangga Buatan Indonesia (SBBI) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang memberi voucer Rp 100 ribu.
“Beli satu, dapat dua,” ujar Yunita. Sehingga omzet penjualannya melonjak hingga 120 juta. Menutupi kerugian yang dialaminya selama setahun saat masa pandemi. Termasuk membayar gaji dua pegawai tetap dan 10 pegawai tidak tetap yang bekerja di Cantuka Kreatif. Omzet penjualan setiap bulan rata-rata Rp 6 juta-Rp 8 juta, keuntungan sekitar 50 persen.
Sedangkan gel bisa menjadi media tanam bunga atau tanaman hias. Selain itu, bisa diolah menjadi bubur kertas, dengan cara digodok selama tiga jam. Setelah jadi bubur kertas, bisa dimanfaatkan menjadi aneka kerajinan. “Kalau jumlah besar, bisa disalurkan ke pabrik kertas daur ulang,” katanya.
Kini, Yunita bersama sekitar 10 orang kader lingkungan mengolah diapers. Dia juga tengah menularkan keterampilan melalui kader PKK dengan membuat aneka jenis kriya. Serta 10 kelompok kader lingkungan di Kecamatan Lowokwaru dan Blimbing untuk mengatasi sampah terutama sampah diapers. “Bayi, minimal sehari menggunakan dua helai diapers,” katanya.
Gandeng PKK dan Puskesmas
Yunita melalui Posyandu, kader PKK dan kader lingkungan mengajak ibu-ibu untuk bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan. Mengajak mereka mencuci dan mengumpulkan diapers sebagai bahan baku kriya. Sekarang, warga yang tersebar di Tanjung Sekar, Polowijen, Batu dan Sawojajar mengumpulkan diapers di rumah diapers atau bank popok di setiap posyandu. “Hanya 98 persen ibu balita yang mau mencuci sampah diapersnya sendiri,” katanya.
Termasuk bekerjsama dengan sanitarian Puskesmas Polowijen Kota Malang Anita Resky yang menginisiasi Rumah Diapers. Melalui Rumah Diapers pula, Yunita memberi pelatihan pengolahan sampah popok sekali pakai. Setiap potong diapers dibeli seharga Rp 200-Rp 300. Hasil penjualan diapers ditabung, rata-rata setiap nasabah mengumpulkan Rp700 ribu sampai Rp 1,2 juta per tahun.
Setiap pekan Yunita mengumpulkan sekitar 4 ribu potong diapers bekas. Kemampuan mengolah sekitar 300 potong per hari sehingga bahan baku terus menumpuk. Sehingga ia berharap semakin banyak yang mengolah dan memanfaatkan diapers agar bisa mengatasi persoalan sampah di lingkungannya sendiri.
Yunita mengawali mengolah karena dipicu pengalaman pribadi. Sepekan setelah melahirkan, perempuan ini didatangi pemilik tanah kosong di samping rumah. Lahan tidur itu akan ditanam pisang. Saat digali, ditemukan diapers yang menggunung. Setelah dikumpulkan total ditemukan sekitar dua gerobak diapers. “Nak, jangan buang popok di sini. Akan ditanam pisang,” kata Yunita menirukan pemilik lahan tersebut.
Dia menyangkal karena merasa membuang diapers di pekarangan samping rumahnya. Lantaran anaknya baru berusia sepekan. Dia teringat, saudaranya yang tinggal di belakang rumah memiliki anak 12 tahun. Dulu, popok bekas ditanam di tanah kosong itu. “Ternyata meski ditimbun bertahun-tahun, diapers tak hancur,” katanya.
Saat itu, ia juga kebingungan kemana membuang diapers bekas bayinya. Saat berjalan ke sungai sejauh 300-an meter dari rumah, dia menemukan tumpukan diapers. Menggunung. Akhirnya, saban hari diapers dia cuci bersih dan disimpan. Yunita memutar otak agar sampah diapers bisa bermanfaat. Akhirnya, muncul ide mengkreasikan diapers jadi aneka bunga. Sampai kini tercipta 26 jenis bunga. Kini, dia fokus megolah diapers menjadi sendal dan tas.
Rumah Yunita dihias dengan aneka tanaman yang ditanam dalam pot tanaman berbentuk vertical garden. Unik, pot bunga vertical garden terbuat dari limbah popok sekali pakai atau diapers. Termasuk vertical garden dan lapiran tembok artistik. Pot dan asbak dijual sehaga Rp 10 ribu sedangkan vertical garden per lembar Rp 500 ribu. EKO WIDIANTO