Oleh: Yono Ndoyit*
DeMalang.ID—Setelah sempat larut membangun kenangan masa lalu dan berhura-hura dalam beberapa pertunjukan musik yang meng-cover lagu-lagu populer di zaman masih sekolah di triwulan akhir tahun kemarin, ada semacam “gairah lain” yang muncul ketika saya mendengar kabar dari Arif Ipong , pemilik Toko Kopi Koopen, bahwa ada sekelompok musisi Malang yang akan menggelar karya-karya barunya.
Gairah itu nyatanya mampu menggerakkan saya untuk wajib hadir dan menyaksikannya. Sesuatu yang baru memang selalu menarik sebab pintu wawasan jadi lebih terbuka. Setidaknya, kita akan sedikit tahu perkembangan suatu peristiwa. Sehingga, tak ada alasan bagi penulis buku “Selalu Ada Alasan” ini untuk tidak datang di acara tersebut meski banyak kawan yang tahu bila saya cukup terlatih mengelak. He…he…
Di Level Brewhouse, Minggu, 29 Desember 2024, beberapa musisi Malang Raya serta komunitasnya, menggelar “hearing session” sekaligus mendengar bersama lagu-lagu baru mereka di album kompilasi MOHGA volume 1. MOHGA merupakan akronim Make Our Home Great Again.
Pengunjung memenuhi ruangan kafe yang tak luas namun terasa intim. Beberapa seniman dan aktivis lingkungan terlihat hadir dan berbaur. Nuansa akrab dan egaliter cukup terasa. Beruntung, saya yang datang terlambat mendapat tempat duduk di meja yang hampir pojok, di belakang resepsionis. Bergabung dengan Ipong dan Romy dari komunitas Gimbal Alas juga kawan-kawan mereka.
Di malam itu, masing-masing musisi mempresentasikan latar belakang penciptaan karyanya. Berbagi cerita dan pengalaman yang kemudian dilanjutkan dengan mendengarkan lagu karya mereka. Yang menarik, beberapa musisi yang turut berkontribusi di album ini datang dari Kabupaten Malang. Mereka berasal dari Wajak, Turen, Sendang Biru, Tumpang, dan Dampit.
Di sana, saya sempat berkenalan dan bertukar nomor telepon dengan Gilang, musisi dari Dampit yang karyanya sempat membuat saya larut dan ingin “nendes kombet” karena secara sepintas, saya mendengar lengkingan melodi gitarnya mirip David Gilmour. Saya sempat secara sekilas melihat ada kursi kosong di pojok yang ditinggalkan pengunjung untuk pergi ke kamar kecil.
“Asyik juga bila dengarkan lagu itu sambil duduk bersandar dengan mata terpejam di situ,” batin saya. Namun, tentu saja, keinginan itu saya abaikan sebab gak enak juga bila asyik-asyik sendiri hehe. “Lagu itu saya garap sekitar satu bulan,” katanya, saat kutanya, berapa lama berproses mencipta lagu itu.
Dalam rilis yang saya dapat dari Omen, salah satu moderator acara itu yang juga menyumbangkan karyanya, sebanyak 14 musisi Malang Raya yang terlibat. Mereka berasal dari berbagai genre yang bersepakat membuat gerakan dan menuangkannya dalam sebuah album kompilasi.
Isu lingkungan dan kemanusiaan menjadi tema yang berangkat dari kegelisahan mereka akan maraknya isu banjir, macet dan kesehatan mental di daerahnya. Asyik juga, menyaksikan para musisi yang punya visi dan kepedulian akan sekitar. Karya seni yang diciptakan dengan tujuan untuk mendorong perubahan sosial cenderung lebih efektif daripada seni yang tidak diciptakan untuk tujuan tersebut.
Bagi seorang yang memiliki hobi menonton pertunjukan, tema seperti itu menjadi gagasan yang menarik. Ada yang bilang, gagasan seperti itu sebagai gerakan sosial yang berakar dari gagasan realisme sosialis yang mengusung semangat, nafas dan menggambarkan semangat kaum marginal yang sedang memperjuangkan suatu tatanan sosial yang lebih baik.
Saya tak perlu “nguyahi segoro” bila bicara pergerakan semacam itu karena saya yakin sekali, teman-teman dan pembaca lebih paham tentang dunia pergerakan. Sekaligus teori-teori sosial yang menyertainya dibanding saya yang sering merasa gugup bila harus mengempiskan saku yang memang sudah kempis untuk beli buku he…he…. Terlebih, saya bukan pembaca baik yang dengan segera dapat memahami sebuah bacaan. “Utekku rodok dedel rek” he…he….
Saya jadi ingat perbincangan dalam sebuah podcast dengan narasumber Moelyono, seorang perupa yang dikenal dengan Seni Penyadaran, mengatakan, “Seni yang baik itu seni yang memberi manfaat bagi masyarakat sekitar. Karya seni serta geliatnya yang ia sebut dengan Seni Kagunan.” Pernyataan ini, bisa jadi dilekatkan pada para musisi yang berkontribusi di acara itu.
Ada anggapan, seniman sangat dibutuhkan dalam gerakan sosial, karena kemampuannya mengartikulasikan masalah kehidupan dalam tema yang mudah diterima masyarakat kebanyakan. Melalui musik, mereka melakukan pendekatan agar masyarakat lebih membuka mata dan peduli akan suatu isu. Para musisi bergerak dan menggunakan karyanya untuk meningkatkan kesadaran dan memicu percakapan serta tindakan perubahan yang kerap berjalan lambat.
Lee Down, dalam tulisan yang berjudul Artists as Agents of Social Change Past and Present (Seniman sebagai Agen Perubahan Sosial Dulu dan Sekarang), yang dimuat di situs Artsartistsartwork mengatakan, perubahan sosial sering kali berjalan lambat. Salah satu alasannya adalah karena orang-orang menolak perubahan. Mereka mungkin merasa nyaman dengan keadaan yang ada dan tidak ingin berubah.
Alasan lainnya adalah karena perubahan bisa jadi sulit. Mengubah keyakinan dan praktik yang sudah lama ada bisa jadi sulit. Mengubah institusi juga bisa jadi sulit. Institusi lambat berubah karena memiliki banyak inersia. Institusi dirancang agar stabil dan lambat berubah. Terakhir, perubahan sosial berjalan lambat karena orang-orang butuh waktu untuk mengubah perilaku mereka.
Malam itu menjadi Minggu malam yang menarik. Bukan hanya karena kecerahannya di musim hujan, namun ada gairah yang terpuaskan. Gairah akan sebuah wacana perubahan. Perubahan menuju rumah kita yang lebih baik. Saya harus berterima kasih pada Ipong yang malam itu mengingatkan saya untuk datang, juga pada Romy dari Gimbal Alas dengan support asupan beberapa “little river-nya”.
Malang, 7 Januari 2025
*Pegiat literasi dan penulis seni