DeMalang.ID – Puluhan taman bertebaran di berbagai sudut Kota Malang. Sebagian di antaranya sudah ada sejak masa Hindia Belanda. Pemerintah kolonial ketika itu merancang kota ini dengan konsep garden city, berorientasi kota yang nyaman untu ditinggali hingga masa depan.
Thomas Karsten, seorang arsitek dan perencana kota asal Belanda ada di balik perencanaan dan pengembangan tata kota Malang masa itu. Dia mengembangan tata kota dengan konsep garden city, berorientasi pada kota taman yang nyaman untuk dihuni.
Konsep yang telah muncul dan berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19. Ciri-ciri konsep itu seperti ada pembagian kawasan untuk permukiman, industri dan pertanian. Serta keberadaan ruang terbuka dan taman, adimarga atau jalan raya besar yang dibagi median jalan besar di tengah atau biasa disebut boulevard.
Karsten memandang konsep itu sangat cocok diterapkan di Hindia Belanda yang beriklim tropis. Terutama di Malang yang memilii topografi pegunungan. Ide besar itu diterapkan begitu Pemerintah Hindia Belanda menetapkan gementee atau Kotamadya Malang pada 1914.
Tahap perencanaan kota atau bouwplan dibagi I-VIII ditarget selesai pada 1942, tapi tak tuntas karena ada invasi Jepang. Pada setiap tahap bouwplan, untuk pembangunan permukiman elit orang eropa dan jalannya selalu dilengkapi ruang terbuka hijau berupa park (taman). Serta plein (tanah lapang bundar berumput hijau) dan boeulavard atau taman median jalan.
Jujun Kurniawan dalam penelitiannya berjudul PERKEMBANGAN KOTA MALANG 1914–1942: Kajian Atas Intervensi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (2006) menuliskan, Taman paling banya dibangun di kawasan Bergenbuurt atau kawasan yang banyak jalan menggunakan nama gunung-gunung.
Taman itu dilengkapi fasilitas berupa pohon pelindung, tanaman hias, rumputnya tertata serta fasilitas bangku dan gazebo. Menjadi tempat orang – orang Belanda dan eropa pengusaha perkebunan berkumpul santai. Taman – taman itu seperti Gajayana Park, Slamet Park, Merbabu Park, dan terbesar adalah Smeroe Park.
Sedangkan untuk taman berupa plein biasanya berada di kompleks permukiman yang berfungsi sebagai penyegar kawasan layaknya paru-paru kota. Plein sekaligus berfungsi sebagai penanda titik peralihan jalur transportasi antar satu bagian kawasan. Plein ini yakni J.P. Coen Plein, Smeroe Plein, Boering Plein, Idjen Plein, dan Tjerme Plein.
Sementara Boulevard dibangun untuk menghadirkan nuansa eropa. Berupa jalan lebar yang pada bagian jalur tengah atau median jalan dilengkapi taman bunga. Kedua sisi jalan juga ditanam pohon pelindung serta jalur yang lebar agar warga dapat berjalan kaki dengan nyaman.
Kedua boulevard itu yakni Idjen Boulevard atau Jalan Besar Ijen serta Daendels Boulevard di Jalan Kertanegara. Sampai saat ini keberadaan kedua boulevard itu tetap dipertahankan dan termasuk landmark Kota Malang
Tim Cagar Budaya Kota Malang pada 2018 silam mendata ada 20 ruang terbuka hijau kategori heritage. Tapi saat itu hanya tiga taman yang berstatus cagar budaya yaitu alun-alun Malang, Tugu Bundara tau Alun-alun Tugu dan Taman Cerme. Sedangkan beberapa taman lainnya sudah hilang berganti wujud.
Beberapa park dan plein atau taman di Kota Malang yang dibangun era kolonial Belanda itu ada yang masih bertahan, tak berubah fungsi. Ada yang berganti nama, menyesuaikan dari sistem ejaan Van Ophuijsen menjadi Ejaan Soewandi. Tapi ada pula yang sudah hilang berubah fungsi.
Beberapa park dan plein itu yakni Idjen Plein sekarang bernama Simpang Balapan, Merbaboe Park menjadi Taman Merbabu dan Hutan Kota Malabar. Boering Plein sekarang Taman Pahlawan TRIP, Tjerme Plein bertahan sebagai Taman Cerme. Slamet Park alias Taman Slamet, Wilis Plein kini jadi Taman Liman dan Gajam Plein atau sekarang Taman Gayam.
Smeroe Plein tetap bertahan menjadi taman di depan Museum Brawijaya. Sementara Smeroe Park sempat dua kali berganti nama yakni Beatrix Park saat kelahiran ratu Belanda itu, diubah jadi Tanaka Park pada masa invasi Jepang. Lalu dinamakan Taman Indrakila tapi sekarang berubah menjadi perumahan mewah di belakang Museum Brawijaya. ZAINUL ARIFIN