Hikayat Bulul, Sang Pendekar dari Lembah Sungai Bango

DeMalang – Sungai Bango kini mengalir tenang membelah kawasan timur Kota Malang. Namun, lebih dari seribu tahun silam, kawasan ini jauh dari kata damai. Pada abad ke-10 Masehi, ketika Malang masih berada dalam kekuasaan Mataram Kuno, lembah Sungai Bango dikenal rawan kejahatan—pembunuhan, perampokan, hingga tindak kriminal lainnya kerap terjadi.

Di tengah situasi mencekam itu, muncul seorang pemuda bernama Bulul, yang tinggal di Kampung Kajatan, kawasan lembah Sungai Bango. Bulul dikenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Dengan keberanian dan kekuatannya, ia menumpas para pelaku kejahatan demi menciptakan keamanan di kampungnya.

Tak hanya mengandalkan kekuatan, Bulul juga memiliki tekad luhur. Jika berhasil menyingkirkan kejahatan dari wilayahnya, ia bernazar akan membangun taman bunga untuk keindahan kampung. Nazar itulah yang kelak mengubah hidupnya.

Atas jasa dan keberhasilannya memberantas para penjahat di kampungnya, Bulul dianugerahi sebidang tanah oleh penguasa Kanuruhan saat itu, Dyah Mungpang. Penganugerahan ini tertulis dalam Prasasti Kanuruhan yang ditemukan di wilayah Kampung Beji, Desa Bunulrejo, Kota Malang.

“Selamat tahun Saka telah berjalan 856… ra wukir, pada waktu itulah rakryan Kanuruhan bernama Dyah Mungpang memberi anugerah… tanah wilayah Kanuruhan diperuntukkan bagi sang Bulul guna menanam bunga-bunga sebagai taman, diiring oleh siapapun… maksud dari tujuan sang Bulul terhadap sebidang tanah itulah yang membuat rakryan Kanuruhan menambahinya….” demikian tertulis di prasasti yang berada di balik arca Ganesha tersebut.

Tanah anugerah itu, oleh Bulul, dijadikan taman bunga, lengkap dengan kolam berukuran sekitar 12 meter persegi yang dihiasi jaladwara (pancuran) dan bunga teratai. Sayangnya, jejak fisik kolam itu kini sudah hilang. Menurut warga, pada tahun 1960-an, peninggalan Bulul telah ditimbun untuk pembangunan permukiman. Kolam Bulul pun kini berada di bawah sebuah rumah ibadah, di kampung tersebut.

Meski begitu, memori tentang kolam dan sang pendekar tetap hidup. Nama kampung Beji—yang dalam Bahasa Jawa Kuno berarti kolam atau telaga—menjadi pengingat kolektif warga terhadap peninggalan tersebut.

Selain kolam, nama Bulul juga bertransformasi menjadi bagian dari toponimi Kota Malang. Berdasarkan penelusuran dalam buku Toponim Kota Malang, nama Bulul mengalami pergeseran fonetik menjadi Bunul, nama yang kini dikenal sebagai salah satu kelurahan di Kecamatan Blimbing.

Menurut praktisi sejarah Malang, Suwardono, pergeseran ini sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Jawa.

“Dalam tata bahasa Jawa, konsonan ‘L’ pada kata Bulul dalam pengucapan bertukar dengan konsonan ‘N’. Misalnya, Melur menjadi Menur, Pulen menjadi Punel, dan Panawijen menjadi Palawijen. Demikian pula, Bulul menjadi Bunul,” tulisnya. – DENDY GANDAKUSUMAH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *