DeMalang.ID – Seluruh masyarakat Tionghoa termasuk di Indonesia sedang bersiap menyambut Tahun Baru Imlek 2025. Seluruh klenteng pun mulai dipersiapkan menyambut kedatangan umat untuk beribadah, termasuk dihias dengan berbagai dekorasi.
Setiap perayaan imlek seluruh klenteng selalu lebih semarak dengan beragam dekorasi. Umat Konghuchu berduyun-duyun datang beribadah. Selain itu di klenteng sering digelar berbagai kegiatan sosial, termasuk menampilkan pementasan seni dan budaya.
Komunitas Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah panjang sejak berabad-abad lalu. Banyak klenteng di nusantara ini yang telah berdiri sejak ratusan tahun. Klenteng umumnya memfasilitasi peribadatan bagi umat Konghuchu, Buddha, dan Tao atau Tridharma.
Masyarakat Tionghoa dan klenteng mengalami masa suram ketika meletus peristiwa G30S/PKI. Saat itu Orde Baru Soeharto menerbitkan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan segala aktivitas yang berbau Tiongkok.
Pasca reformasi 98, larangan itu tidak berlaku lagi sebab aturan itu dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tidak itu saja, Konghuchu turut diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Masyarakat Tionghoa pun kembali mendapatkan haknya untuk menjalankan kepercayaannya. Klenteng kembali berfungsi, selain untuk peribadatan juga digunakan sebagai kegiatan sosial, upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Tionghoa.
Hampir di setiap daerah termasuk di Jawa Timur banyak berdiri klenteng. Tidak sedikit di antaranya berusia ratusan tahun. Masing–masing memiliki sejarah, keunikan, ciri khas tersendiri termasuk dewa yang dipuja. Berikut ini setidaknya 5 klenteng tua yang ada di Jawa Timur.
Klenteng Kim Hin Kiong Gresik
Lokasi klenteng ini di Jalan Dr. Setia Budi Gang Klenteng No. 56, Kabupaten Gresik, tak jauh dari Alun-alun. Dibangun pada 1 Agustus 1153 Masehi dengan arahan langsung arsitek asal Tiongkok, maka klenteng Kim Hin Kiong telah berdiri sejak masa Majapahit.
Letak Gresik di pesisir utara Jawa membuat daerah ini jadi salah satu kota pelabuhan ramai, titik singgah jalur perdagangan rempah pada masa lalu. Para pedagang asal Tiongkok yang menetap lalu membangun rumah ibadah ini untuk kepentingan sembahyang mereka.
Bangunan klenteng ini tak begitu besar, didominasi warna merah dan kuning. Dua patung cok say (singa) dan hiolo atau tempat membakar dupa dengan ornamen kepala naga ada di bagian teras klenteng. Altar berada di ruang utama untuk memuja arca Dewa Thian San Seng Boo. Di sisi kanan terdapat panggung pementasan yang seringkali menampilkan hiburan wayang Po Te Hi.
Klenteng Tjoe Tik Kiong Pasuruan
Klenteng ini diperkirakan sudah ada sejak awal abad ke 17 Masehi. Tahun pendirian itu merujuk keberadaan relief koin yang bila dikaji diperkirakan koin itu dibuat oleh kekasiran Tiongkok sekitar tahun 1600 masehi.
Orang – orang Tionghoa perantauan mendirikan rumah ibadah ini di Pasuruan yang ketika itu termasuk daerah ramai. Diharapkan sebagai perekat persaudaraan bagi kalangan orang Tionghoa di daerah itu dan bersama masyarakat di sekitarnya.
Di bangunan utama terdapat sejumlah altar persembahyangan yang ditujukan kepada Thian Shang Sheng Mu atau dikenal pula dengan sebuta Mak Co sang Dewi Laut, Hok Tek Ceng Sin sang Dewa Bumi, dan Dewa leluhur Suku Min Selatan yakni Kong Tik Cun Ong.
Tepat di belakang ruang utama itu ada ruang pemujaan bagi penganut Tri Dharma. Klenteng Tjoe Tik Kiong berada di Jalan Lombok nomor 7, Gadingrejo, Kota Pasuruan.
Klenteng Kwan Sing Bio Tuban
Dibangun untuk perhormatan terhadap Dewa Kwan Kong. Banyak yang meyakini klenteng dibangun pada 1773, tapi inskripsi tertua yang ditemukan di klenteng ini berangka tahun 1871. Tapi keberadaan rumah ibadah ini menegaskan Tuban merupakan kota pelabuhan ramai pedagang asing pada masa itu.
Bangunan klenteng ini memiliki 3 ruangan. Terdiri dari ruang utama untuk bakar hio atau dupa, ruang kedua di bagian untuk persembahyangan dan ruang ketiga di bagian belakang terdapat arca Dewa Kwan Kong beserta arca lainnya untuk persembahyangan.
Arsitektur klenteng ini menggabungkan unsur budaya Tionghoa dan Jawa. Secara umum bangunannya sangat megah dan mewah, dikelilingi taman yang rimbun, berbagai patung mitologi Tiongkok dan hiasan lain yang indah.
Klenteng Kwan Sing Bio terletak di Jalan Martadinata Nomor 1, Karangsari, Tuban. Bangunannya menghadap laut karena letaknya persis di tepi pantai jalan raya penghubung Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kelenteng Hok An Kiong Surabaya
Diperkirakan dibangun sekitar 1821 Masehi oleh anggota Hok Kian Kong Tik Soe (perkumpulan saudagar dari Hokkian, Tiongkok). Lokasi klenteng berdiri awalnya tempat istirahat bagi pekerja kapal asal Tiongkok, lalu berkembang jadi rumah ibadah.
Klenteng ini didirikan untuk pemujaan terhadap Dewi Thia Siang Sing Bo atau Mak Co atau sang Dewi Laut. Dewi yang melindungi mereka selama berlayar dari Tiongkok hingga tiba di Surabaya. Kini klenteng memiliki 22 altar pemujaan yang terletak di dua ruang utama dan di ruang samping.
Termasuk klenteng Tri Dharma atau rumah peribadatan bagi umat Konghuchu, Buddha dan Tao. Kelenteng Hok An Kiong berada di Jalan Coklat, Pabean, Surabaya dan sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Kota Surabaya.
Kelenteng Eng An Kiong Malang
Kelenteng Eng An Kiong didirikan Liutenant Kwee Sam Hway, keturunan ketujuh dari seorang jenderal Dinasti Ming (1368-1644). Dibangun dalam dua tahap, pertama ruangan tengah utama pada 1825 dan bangunan lainnya selama 1895 sampai 1934.
Pengurus klenteng menyebut bangunan rumah ibadah ini 90 persen masih seperti aslinya. Di dalamnya ada 18 altar pemujaan, memiliki 28 patung dewa dan dewi. Menjadi titik nol bagi masyarakat Tionghoa di Malang Raya.
Klenteng yang didominasi warna merah dan kuning ini juga menjadi rumah ibadah bagi penganut Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme (Tri Dharma). Lokasi Klenteng Eng An Kiong ini ada di Jalan R.E Martadinata, Kota Malang. ZAINUL ARIFIN