DeMalang.ID – Salah satu tempat hiburan paling populer di dunia adalah bioskop. Suasananya yang khas berupa layar lebar, suara menggelegar dan melibatkan kerumunan banyak orang. Itu menjadikan bioskop bagian tak terpisahkan dari perkembangangan budaya masyarakat termasuk di Malang.
Bioskop pertama muncul pada abad ke 19, dari semula hiburan kaum elit lalu milik seluruh lapisan masyarakat. Demikian pula di Kota Malang, sebuah bioskop ada pada 1914 tapi masih sederhana di dalam gedung Societeit Concordia tempat kaum elit berkumpul masa itu.
Lambat laun, Malang yang tumbuh pesat karena perkebunan kopi pada era kolonial Belanda, membuat bioskop mulai bermunculan pada kurun 1920-1942. Tidak lagi menjadi hiburan bagi kaum kulit putih, penduduk golongan Bumiputra pun menyukai menonton film di bioskop.
Banyak bioskop sisa zaman Belanda pasca kemerdekaan yang tetap bertahan, menjadi bagian dari gaya hidup urban. Tapi perlahan seiring maraknya industri hiburan di tanah air, banyak bioskop legendaris di Kota Malang akhirnya tutup.
Beberapa gedung bioskop lama itu masih berdiri tapi beralih fungsi, ada pula yang telah rata dengan tanah. Bagi sebagian masyarakat, gedung-gedung tersebut menyimpan cerita tersendiri.
Berikut adalah enam bioskop legendaris di Kota Malang yang tak terpisahkan dari perkembangan kota ini sejak masa kolonial Belanda.
Alhambra Theater (Bioskop Grand)
Ini adalah salah satu waralaba bioskop yang populer pada masa kolonial Belanda, kalau sekarang mirip jaringan bioskop 21 atau Cineplek. Di Malang bioskop ini didirikan pada 1928 oleh Ali Soerati, seorang pengusaha kaya raya keturunan Pakistan. Ketika bangkrut, bioskop ini dijual ke orang Tionghoh dan diubah namanya jadi Grand Cinema.
Bioskop ini termasuk salah satu gedung yang terdampak saat peristiwa Malang bumi hangus. Tidak ada catatan pasti kapan bioskop ini tutup, tapi gedungnya sekarang jadi Mitra 1 di Jalan KH Agus Salim.
Bioskop Kelud
Terletak di Jalan Kelud, Kecamatan Klojen, tepat di samping SMA Panjura, Bioskop Kelud memiliki konsep yang berbeda. Dibangun sebagai hiburan terjangkau, bioskop ini menyasar masyarakat menengah ke bawah.
Gedungnya terbuka dengan konsep layar tancap atau lesehan, dan bahkan ada ruang VIP di lantai dua. Bioskop ini buka hanya di malam hari, menciptakan suasana ramai layaknya pasar malam dengan pedagang yang berkeliling. Kini Bioskop Kelud hanya berupa gedung tua untuk parkir.
Bioskop Ria (Bioskop Rex)
Bioskop ini memiliki sejarah panjang. Awalnya bernama Bioskop Rex, yang merupakan bagian dari jaringan bioskop masa kolonial. Pada tahun 1947, saat Agresi Militer Belanda, bioskop ini dibakar oleh pejuang Indonesia dan baru dibangun ulang pada 1950-an.
Pada 1970an pengelola mengubah nama Rex menjadi Bioskop Ria, menyesuaikan kebijakan saat orde baru berkuasa. Sempat berjaya seiring geliat perfilman nasional. Bioskop ini akhirnya gulung tikar juga pada 1990an seturut kelesuan dunia perfilman ketika itu. Sekarang bekas gedungnya ditempati oleh Bank CIMB Niaga.
Bioskop Irama Theater
Terletak di Jalan Letjend Sutoyo, Bioskop Irama Theater menjadi favorit masyarakat Malang karena tiketnya yang terjangkau dan film-film terbaru. Namun, bioskop ini mengalami kebakaran hebat yang membuatnya tidak dapat bertahan.
Bioskop Flora
Flora Cinema berlokasi di persimpangan Jalan KH Agus Salim dan Jalan Zainul Arifin didirikan pada 1928. Bioskop ini semula dimiliki Ali Soerati, salah seorang pengusaha bioskop terbesar di Malang pada masa itu.
Karena lokasinya sangat strategis, menjadikan bioskop ini salah satu tempat hiburan kelas atas dilengkapi berbagai fasilitas. Setelah kemerdekaan, namanya berubah menjadi Gedung Wijaya Kusuma lalu beralih fungsi menjadi pertokoan dan depot pada awal 1990-an.
Bioskop Merdeka (Roxy Theater)
Terletak di kawasan Kayutangan Heritage, beroperasi pada awal 1952 dengan nama Roxy Theater. Pada 1960-an, namanya berubah menjadi Bioskop Merdeka Theatre. Meskipun film asing tetap diputar, bioskop ini menjadi tempat berkumpul bagi pemuda di era 90-an. Namun, seiring munculnya jaringan bioskop modern, Bioskop Merdeka ditutup dan gedungnya dihancurkan untuk pembangunan baru.
Bioskop tidak hanya menjadi tempat hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai cermin masyarakat. Film sering kali mencerminkan isu-isu sosial, politik, dan budaya yang sedang berlangsung di tengah masyarakat.
Pada era orde baru, masyarakat film tanah air sengaja dicekoki dengan tontonan film – film panas sarat adegan erotis. Sebuah politik budaya yang dengan sengaja untuk meninabobokan dan menumpulkan daya kritis masyarakat ketika itu.
Sekarang bioskop menghadapi tantangan baru degan munculnya platform streaming seperti Netflix dan Disney+ dan lainnya. Meski begitu, banyak penggemar film tetap setia memilih menonton di bioskop karena suasana dan sensasi yang ditawarkan. ZAINUL ARIFIN