DeMalang.ID – Malam mulai merambat turun di kawasan Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, pada akhir akhir pekan lalu. Lampu-lampu gemerlapan. Sinarnya jatuh menerangi wajah ratusan pengunjung yang memadati kawasan jantung Kota Malang tersebut.
Beberapa pasang muda-mudi duduk di kafe bergaya kolonial, yang banyak terdapat sepanjang wilayah tersebut. Di sisi lain, tampak sejumlah musisi jalanan beraksi, menambah hidup suasana.
Sejak dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata, bernama Kayutangan Heritage, kawasan ini seakan tak pernah mati. Hampir tiap hari, terlebih akhir pekan dan libur panjang, kawasan tersebut dipadati pengunjung.
Hal ini kontras dengan kondisi daerah tersebut pada beberapa abad silam. Bahkan, Kayutangan sempat menjadi tempat persembunyian begal yang kemudian menjadi salah seorang tokoh terkenal Nusantara.
Dalam buku Toponim Kota Malang, disebutkan, nama Kayutangan berasal dari nama tanaman Kayu Tangan (Euphorbia Tirucalli). Tanaman ini berbentuk seperti tangan, dengan batangnya yang seperti ruas-ruas jari.
Kayu Tangan, pada masa lampau, disebut sebagai Patang atau Patang Tangan. Pada abad ke-12, tanaman Patang ini banyak tumbuh di wilayah ini. Karenanya, wilayah ini juga kerap disebut sebagai Alas Patangtangan.
Keberadaan Alas Patangtangan bisa dilacak keberadaannya dalam Prasasti Pamotoh.Prasasti ini ditulis oleh Mpu Damawan, asal Talun. Saat ini, Talun menjadi nama kampung yang masuk ke dalam wilayah Kayutangan Heritage.
Pada awal tahun 1200-an tersebutlah seorang begal yang kerap membuat kekacauan di lereng timur Gunung Kawi. Nama begal tersebut adalah Ken Angrok, atau jamak disebut Ken Arok. Reputasinya sebagai begal dan pengacau tersohor di wilayah ini.
Waktu itu, lereng timur Gunung Kawi masuk dalam wilayah kekuasaan Daha. Tentu saja, penguasa Daha tak tinggal diam. Mereka mengirimkan sejumlah prajurit untuk meringkus Angrok. Selain itu, warga lereng timur Gunung Kawi juga geram dengan ulah Angrok dan ikut memburu putra Ken Ndok tersebut.
Dalam satu episode petualangannya, Angrok sempat dikejar oleh orang-orang Kapundungan dan Nagamasa. Ia pun melarikan diri ke Oran dan kemudian ke Patangtangan.
Episode pelarian Angrok ke Alas Patangtangan tercatat dalam Serat Pararaton. Dalam karya sastra yang diduga disusun pada 1613 Masehi tersebut tertulis, “Lunga sira angungsi alas. Ndan lingira Ken Angrok. Panghêr mani aburuha. Yata sangkaning alas ring Patangtangan arane.”
Tidak ada penjelasan lebih lanjut soal detail nasib Angrok dalam pelariannya di Alas Patangtangan. Yang pasti, ia selamat dan berhasil menjadi raja pertama Tumapel, usai merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung.
Kisah Alas Patangtangan ini diwariskan turun-temurun kepada penduduk Kayutangan. Bahkan, penduduk Kayutangan kiwari mengaku tak asing dengan kisah Alas Patangtangan dan Ken Angrok tersebut.
“Memang, dari orang-orang terdahulu, kisahnya seperti itu. Di sini memang hutan. Ken Angrok juga ceritanya sempat bersembunyi di hutan ini,” kata Agus Indra, salah seorang warga Kayutangan, kepada DeMalang.id.
“Namun, di sini nggak ada punden (Ken Angrok) atau semacamnya. Yang ada ya Mbah Honggo dan Kuburan Tandak. Itu juga sudah beda zaman dari Ken Angrok,” sambungnya.
Agus mengaku bahwa sejarah wilayah Kayutangan Heritage ini sudah diketahui oleh penduduk kawasan tersebut. Menurutnya, sebagai penduduk kawasan wisata, mereka harus tahu sisik-melik kampungnya.
“Kalau nggak tahu, kalau ada yang bertanya dan kita nggak bisa jawab bisa malu,” katanya, sembari tertawa lepas.
Kesadaran penduduk Kayutangan ihwal sejarah toponimi daerahnya tak sekadar kata-kata. Mereka juga mengusahakan agar tanaman patangtangan atau kayu tangan tetap lestari di wilayah mereka.
“Tanaman kayu tangan masih ada di halaman rumah beberapa warga di sini,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kayutangan Heritage, Mila Kurniawati, kepada DeMalang.id
DENDY GANDAKUSUMAH