Kesunyian Pasar Buku Velodroom

DeMalang.IDDuduk tepekur, Hudiyana Hutama menatap layar gawai. Jari jemarinya lincah berselancar di dunia maya. Di kios buku velodroom miliknya, terpajang beragam buku bekas. Mulai buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis Suseno, Catatan Seorang Demonstran yang ditulis Soe Hok Gie, dan Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning bertengger di etelase.

Sejak 15 tahun terakhir, Hudiyana yang akrab disapa Yana menjual buku secara daring. Berawal dari penawaran melalui surat elektronik, blog, media sosial hingga loka pasar atau market place. Pelanggannya berasal dari hampir seluruh pelosok Nusantara. “Pembeli dari Papua bahkan luar negeri,” katanya.

Berjualan buku secara daring dilakukan sebagai salah satu cara beradaptasi dengan teknologi. Selain itu, untuk menjangkau pasar semakin luas. Lantaran semakin lama, pembeli buku terus merosot. Tergerus teknologi digital, sebagian beralih menggunakan buku elektronik.

Yana berjualan buku sejak 20 tahun lalu, berawal dari hobi membaca buku. Bersama sekitar 45 pedagang menjajakan aneka buku bekas di Pasar Buku dan Seni Velodroom. Lulusan Sosiologi Universitas Jember ini terjun berjualan buku sejak di Jalan Sriwijaya depan Stasiun Kota Malang.

Hudiyana Hutama Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Buku Velodroom bersama buku koleksinya di toko yang dikelola sejak 20 tahun lalu. Eko Widianto/ DeMalang.

“Dulu sehari omzet bisa sampai Rp 300 ribu.  Dulu jual buku, seperti surga orang jualan,” kata Yana yang juga Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Buku Velodroom. Selain warga Malang, sebagian pembeli berasal dari berbagai kota di Indonesia. Kadang pelanggan membeli buku dalam jumlah besar hingga bernilai Rp 4 juta sampai Rp 5 juta.

Namun, sejak 2009 mereka direlokasi ke Velodroom di Jalan Terusan Simpang Sentani, Sawojajar. Lokasinya yang jauh dari pusat kota menjadi salah satu penyebab omzet penjulannya terjun bebas. Sehingga berjualan secara daring dipilih untuk menjangkau pasar yang semakin luas.

Yana khusus menjual aneka buku sosial. Buku dagangannya menjadi langganan  mahasiswa, penulis buku, peneliti dan kolektor buku. Ia meraup untung besar saat euforia reformasi, sejumlah buku kiri yang dilarang Orde Baru laris manis bak kacang . Pada 2009, ia menjual  buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer Terbitan Hasta Mitra  1980 seharga Rp 1,5 juta.

Buku ABC Politik Basa Djawa terbitan Depagitprop CC PKI juga menjadi barang langka. Lantaran saat Orde Baru, banyak buku kiri yang dibakar. “Paling tinggi Rp 1,5 juta tidak sampai puluhan juta. Harga sewajarnya sesuai kesepakatan,” katanya.

Buku yang dijual berasal dari hasil perburuannya ke sejumlah daerah, juga mencari di dunia maya. Jejaring pedagang buku juga membantu memasok buku langka tersebut. Namun, kini ia mengaku sulit mendapat buku antik atau langka. Sedangkan penjualan juga seret, bahkan cenderung terus merosot.

Tinggal Kenangan

Rumah dan kios buku milik Yana pernah didatangi militer. Ditanya mengenai penjualan buku kiri. Namun, ia tak menyimpan buku yang dimaksud. Bahkan tidak pernah memperbanyak atau menerbitkan. Yana menilai sebagaian aparat tidak memahami buku yang dilarang tersebut.

“Ditekuni saja. Duduk baca buku. Berapapun diterima. Dibaca diamalkan,” katanya. Jika tak dilandasi hobi, katanya, sulit mempertahankan kios buku. Apalagi minat baca dan membeli buku juga menurun. Terbukti, dari 70 kios di seputaran velodrome hanya tersisa 45 pedagang yang tetap mempertahankan berjualan buku. Selebihnya beralih berjualan pakaian, makanan dan minuman.

Dodik Irawan Ketua Paguyuban Pedagang Buku Velodroom membuka Toko Boekoe Poestaka Bangsa. Kios dirintis sejak 2009, bermodal Rp 1 juta. Eko Widianto/ DeMalang.

“Pedagang buku suatu saat hanya menjadi kenangan. Bisa bertahan lima sampai 10 tahun lagi,” katanya. Masing-masing pedagang buku memiliki jenis buku yang berbeda, ada yang khusus menjual buku sastra, komik, sosial politik, dan dokumen atau manuskrip.

Di sebelah kios milik Yana, Dodik Irawan membuka Toko Boekoe Poestaka Bangsa. Kios dirintis sejak 2009, bermodal Rp 1 juta. Berjualan buku menjadi pekerjaan utama Dodik, sehingga harus putar otak untuk bertahan berjualan buku. Sama dengan Yana, Dodik juga berjualan secara daring sebagai salah satu strategi meningkatkan penjualan. “Awalnya saya bekerja di toko buku,” katanya.

Kepuasan Batin

Berjualan buku, katanya, memberi kepuasan batin. Ia bisa berdialog dengan pembeli dan turut membaca buku langka. Selain itu, keuntungan dan harga buku bisa melonjak, tergantung kesepakatan. Semakin langka dan antik, buku tersebut semakin mahal.

“Buku kiri karya Aidit, Njoto, dan Lekra bisa laku dijual Rp 1 juta. Bahkan buku tulisan Pram berjudul Kranji-Bekasi Jatuh terbitan 1947  bisa dijual hingga Rp 10 juta,” kata Dodik yang juga Ketua Paguyuban Pedagang Buku Velodroom. Dari berjualan buku, ia bisa membeli rumah dan tanah.

Dodik pernah dikirimi satu kardus buku seharga Rp 1,5 juta. Terdiri atas beragam buku, salah satunya satu bendel buku komik Riwayat Borobudur. Satu bendel buku tersebut terjual Rp 2,5 juta kepada temannya di Tangerang. Dalam sekarung buku, ia menemukan buku berjudul Tenaga Manusia, Postulat Teori Ekonomi Terpimpin ditulis Semaoen, terbitan 1962. “Buku tersebut laku Rp 600 ribu,” katanya.

Tak hanya keuntungan, ia juga pernah menjadi korban penipuan saat transaksi secara daring. Ia pernah mengirim buku kepada pembeli, namun tidak dibayar. Selain itu, ia juga pernah transfer uang untuk pembayaran buku, ternyata buku tidak pernah dikirim. “Memang sulit, tapi harus dihadapi. Semangat pedagang buku hampir pudar,” katanya.

Berbeda dengan Yana dan Dodik, Sanda Oki pemilik kios nomor 4 dan Abdul Manan pemilik kios buku Cahaya Ilmu tak beralih berjualan buku secara daring. Lantaran, mereka tak akrab dan sulit beradaptasi dengan internet. Sehingga selama pandemi, omzet penjualan turun drastis. “Merosot sampai 90 persen,” kata Oki.

Namun, ia enggan menyebutkan omzet penjualannya selama ini. Oki dan pedagang buku lainnya tetap setia menggelar lapak dangangan. Mereka duduk sembari menata dan membaca buku. Meski nyaris sepi pembeli, hanya terlihat beberapa pemuda yang memilih buku di kios yang buka mulai pukul 09.00 WIB sampai 16.00 WIB.

Justru banyak pemuda pemudi yang memadati lapak pedagang makanan dan minuman. Lokasi velodrome yang rindang, dipenuhi pepohonan menjadi salah satu tempat anak muda beristirahat dan nongkrong bersama.

Senja tiba, para pemilik kios pasar buku Velodroom bergegas merapikan tumpukan buku. Sejurus kemudian, mereka menutup gerai. Meninggalkan keheningan kawasan velodroom. EKO WIDIANTO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *