DeMalang.ID—Libur lebaran, menjadi waktu berkumpul bersama keluarga dan saudara. Saat bertemu, kerap muncul beragam bertanyaan yang dianggap sensitif oleh sebagian orang. Seperti kapan lulus, kapan nikah, kerja di mana? Lantas, bagaimana respons kita menghadapi beragam pertanyaan tersebut?
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Winda Hardyanti menuturkan untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa menggunakan komunikasi asertif. Yang memungkinkan seseorang dapat mengekspresikan pikiran serta perasaannya secara jujur tanpa melukai orang lain.
Secara teori komunikasi asertif dilakukan dengan dua cara, yakni asertif langsung dan tak langsung. Asertif langsung adalah berkomunikasi tegas tetapi tetap sopan. Seperti menjawab, ‘saya lebih nyaman berbicara mengenai topik lain, tapi terma kasih ya sudah bertanya’. Sedangkan strategi asertif tidak langsung yakni dengan cara mengalihkan pembicaraan. “Bisa memberi respons candaan jika memiliki kedekatan yang diajak bicara,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima DeMalang.
Dosen yang menekuni komunikasi interpersonal ini menyampaikan, terkadang pertanyaan sensitif tersebut tidak membutuhkan jawaban. Melainkan sekadar basa-basi semata untuk membangun hubungan sosial. Seperti Politeness Theory, katanya, ada istilah face-saving yakni, menjaga kesopanan wajah sosial agar tetap menjalin hubungan dengan baik.
Strategi face-saving dilakukan demi melindungi diri sendiri dalam menghindari jawaban yang terbuka. Yakni dengan mengalihkan pertanyaan lain ke orang yang bertanya, bisa juga opsi terakhir sekaligus meminta doa. “Dalam teori politeness diartikan sebagai strategi mitigasi, sehingga bisa meredam amarah dengan jawaban yang netral. Seperti menjawab masih proses, masih mencari, dan doakan saja ya,” ujarnya.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Winda Hardyanti. Foto: dokumen pribadi
Sedangkan pertanyaan umum yang paling banyak ditanyakan kepada generasi Z adalah pertanyaan kapan nikah?. Pertanyaan itu dalam kajian komunikasi bisa dibahas menggunakan teori pengurangan ketidakpastian. Menurut Winda, berdasarkan teori pengurangan ketidakpastian, seseorang yang bertanya mengenai pernikahan sebenarnya hanya ingin mengurangi ketidakpastian yang dirasakannya.
“Orang itu merasa ingin memastikan bahwa kehidupan orang itu sesuai dengan harapannya,” ujarnya. Maka untuk mengatasi pertanyaan tersebut kita bisa menggunakan strategi pasif atau menjawab dengan singkat tanpa membuka diskusi lanjutan.
Winda juga memberikan tips agar tidak merasa terbebani atau tersinggung dengan pertanyaan yang dianggap sensitif itu. Pertama meningkatkan kesadaran diri dengan mengingat bahwa tidak semua hal harus diceritakan kepada orang lain. Lantaran, setiap orang memiliki batasan masing-masing. Kemudian menjaga batasan diri dalam menentukan tingkat keterbukaan. Sekaligus memahami setiap individu memiliki kuasa serta kemampuan dalam mengelola diri sendiri.
“Jangan sampai kita takut mendapat pertanyaan sensitif lalu menghalangi diri kita bersilaturahmi ataupun berinteraksi dengan orang lain,” katanya. Untuk itu, juga bisa dilakukan dengan membangun mental framing positif. Agar tidak membuat diri malas untuk berinteraksi. Padahal pertanyaan tersebut diajukan sebagai bentuk interaksi sosial atau membangun kedekatan. EKO WIDIANTO