Riuh kendaraan seakan tak pernah berhenti di jembatan yang menghubungkan kawasan Sawojajar dengan Rampal itu. Jembatan di Jalan Ranu Grati ini nyaris selalu padat, apalagi saat jam-jam sibuk. Tak sedikit yang mengeluhkan titik kemacetan di situ sebagai salah satu yang paling parah di Kota Malang.
Ya, inilah Jembatan Kwangsan—sebuah penghubung vital antara pusat kota dan pintu tol Malang yang ada di sisi timur. Dibangun sejak tahun anggaran 1985/1986, jembatan ini sekarang jadi nadi penting lalu lintas harian warga Kota Malang.
Nama “Kwangsan” sendiri diambil dari nama daerah tempat jembatan ini berada. Wilayah Kwangsan membentang di RW 1 dan RW 2 Kelurahan Sawojajar. Namun, asal-usul nama ini menyimpan banyak cerita.
Beberapa versi menyebut “Kwangsan” berasal dari nama pohon yang dulunya tumbuh lebat di kawasan tersebut. Namun, versi lain datang dari arkeolog Ismail Lutfi dalam bukunya Toponim Kota Malang, yang menyebut “Kwangsan” berasal dari kata dasar Wangsa, berarti keluarga bangsawan. Maka, Kwangsan bisa dimaknai sebagai “tempat tinggal kaum bangsawan.”
Wilayah ini memang berada di sekitar Sungai Bango, yang menurut catatan sejarah cukup strategis. Di sebelah selatannya, ada Kutobedah, yang dulunya merupakan pusat Kerajaan Tumapel sebelum pindah ke Singosari. Sementara di sebelah timur, ada Kebalon, bekas wilayah vasal Kerajaan Majapahit. Konon, Dyah Kusumawardhani—putri Hayam Wuruk—pernah menjadi penguasa di Kebalon, yang dikenal sebagai sentra kerajinan emas pada zamannya.
Jika ditilik dari letaknya, besar kemungkinan Kwangsan dulunya memang jadi permukiman bangsawan Tumapel. Sementara, permukiman era Kebalon mungkin lebih ke arah Lesanpuro, Sekarpuro, hingga Madyopuro.
Menariknya, jejak sejarah itu tidak hanya tersimpan dalam buku atau dongeng. Yusuf, warga Kwangsan , bercerita tentang sisa-sisa peninggalan yang dulu pernah ditemukan di kampungnya.
“Kata orang-orang tua, dulu pernah ditemukan koin-koin kuno. Bahkan ada yang nemu keris dan pusaka waktu nyari emas di Sungai Bango,” kenang pria yang kini berusia 48 tahun tersebut.
Yusuf juga menyebut, pada awal 1980-an sebelum jembatan dibangun, warga sering mencari benda-benda kuno di sepanjang Sungai Bango.
“Sekarang sih sudah jarang. Tapi waktu kecil, saya sering lihat orang mencari pusaka-pusaka di Sungai Bango,” tambahnya.
Kini, Kwangsan memang lebih dikenal karena jembatannya yang sibuk dan lalu lintasnya yang padat. Namun di balik semua itu, tersimpan kisah kejayaan masa silam. Kisah yang mungkin tak terdengar di tengah deru kendaraan, tapi tetap hidup dalam ingatan dan tanah yang dipijak.