Lebaran dan Musim Maling dalam Bingkai Koran Kolonial

suasana lebaran tempo dulu masa kolonial Belanda

DeMalang.ID – Umat muslim di seluruh dunia bersiap menyambut lebaran Idul Fitri 2025. Terminal, bandara, stasiun kereta api dan jalanan dipadati pemudik. Kepolisian mengimbau mewaspadai meningkatnya kriminalitas, tren kejahatan yang ada sejak lebaran tempo dulu.

Saban tahun keamanan selalu menjadi salah satu isu utama setiap momen lebaran Idul Fitri. Baik itu keamanan lalu lintas selama arus mudik dan balik hingga potensi meningkatnya kriminalitas. Bahkan maraknya aksi pencurian jelang lebaran sudah ada sejak tempo dulu.

Permukiman yang sepi karena banyak rumah kosong ditinggal mudik pemiliknya dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk beraksi. Selain itu, banyak orang miskin berbuat nekat demi bisa memiliki cukup uang saat lebaran.

Tren meningkatnya pencurian pada tujuh hari jelang lebaran itu dituliskan koran-koran berbahasa Belanda pada akhir abad ke-19. Pada masa itu, pencuri menyasar rumah masyarakat biasa sampai juragan kaya raya. Warga sampai diimbau ronda atau siskamling menjaga keamanan lingkungan.

Koran De Locomotief, pada 30 Oktober 1874 memberitakan, di Kampung Tawang Bugisan, Semarang, terjadi upaya pencurian selama enam malam berturut-turut. Petugas keamanan setempat dapat menggagalkan upaya itu meski tidak bisa menangkap malingnya.

Koran terbitan Semarang itu sampai mengutip pepatah Bodo Syawal Udan Maling atau musim maling saat lebaran karena saking banyaknya peristiwa pencurian jelang Idul Fitri. Kepala desa pun diimbau menggalakkan ronda keliling kampung guna mencegah kejahatan tersebut.

Selain itu, kampung dan desa diimbau memperbaiki sistem pencahayaan agar permukiman tidak terlampau gelap gulita. Sebab lampu penerangan yang baik dapat berkontribusi mencegah terjadinya pencurian.

Kewaspadaan terhadap maraknya peristiwa kejahatan jelang lebaran turut dituliskan oleh De Indische Courant pada edisi 18 November 1937. Ketika itu, koran yang diterbitkan di Surabaya ini memberitakan upaya pencegahan kriminalitas jelang lebaran yang jatuh pada 5 Desember.

Mereka menuliskan, kepolisian di Surabaya bekerja ekstra keras selama Ramadhan. Mengawasi ketat masyarakat, bahkan menangkap gelandangan yang dinilai dapat membuat jalanan kota tidak aman agar lebaran dapat berjalan nyaman.

Soerabaijasch Handelsblad pada 1 Oktober 1941, sekitar pekan kedua Ramadhan tahun itu mengabarkan kebrutalan pencurian di Kota Surabaya. Maling membobol rumah dengan cara membuka baut sampai membengkokkan jeruji jendela di banyak rumah. Gerobak dan toko yang tidak terkunci dengan rapat pun jadi sasaran empuk maling.

Koran itu juga menginformasikan seorang wanita melapor ke polisi karena jadi korban jambret saat sedang berjalan di seberang barak Angkatan Laut di Gubeng. Masyarakat pun diimbau berhati-hati karena berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya akan banyak maling beraksi demi mendapat dana lebih untuk lebaran. Idul Fitri tahun itu jatuh tepat pada 21 Oktober 1941.

Selain tiga berita itu, masih banyak sumber dari koran-koran berbahasa Belanda yang menuliskan tren pencurian jelang lebaran pada masa kolonial. Umumnya disertai imbauan kepada penduduk agar lebih waspada. Sebab banyak penjahat butuh dana demi merayakan hari raya dengan mewah.

Tren kejahatan jelang Tahun Baru Pribumi atau Inlands Niujar. Orang-orang Eropa dan pejabat kolonial Hindia Belanda menyebut perayaan Idul Fitri sebagai tahun baru pribumi. Sebab mereka melihat suasana lebaran yang meriah dan masyarakat umumnya mengenakan pakaian baru mirip perayaan tahun baru di Eropa.

Dengan demikian, meningkatnya angka kriminalitas seperti pencurian tidak hanya pada sekarang ini saja. Bahwa kejahatan menjelang lebaran ada sejak tempo dulu. Karena itu penting bagi masyarakat tetap selalu mewaspadai situasi di lingkungan masing-masing. ZAINUL ARIFIN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *