DeMalang.ID – Banyak orang kerap mengaitkan freemason dengan teori konspirasi, sekte sesat, perkumpulan rahasia dan lainnya. Apa sesungguhnya organisasi ini masih penuh misteri meski jejaknya berupa gedung, makam beserta simbol tersebar di mana – mana termasuk di Malang.
Sejumlah literatur menyebut freemason muncul sejak awal masa kolonial di Hindia Belanda pada 1760an. Keberadaan lodge (loji) atau gedung perkumpulan mereka jadi salah satu penandanya. Salah satu ciri gedung freemason biasanya terdapat lambang khas seperti jangkar, segitiga sampai daun pohon akasia.
TH Stevens dalam bukunya berjudul Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia 1964-1962 menuliskan, organisasi freemason memiliki anggaran dasar. Fokus persekutuan ini pada nilai moral dan spiritual yang lebih tinggi. Memiliki tujuan sebagai titik pusat bersama pelaksanaan seni hidup umat manusia agar harmonis.
Freemason di Malang diperkirakan pada akhir 1800an. Semula perkumpulan ini disebut-sebut menggunakan sebuah rumah militer di kawasan Talun, Kayutangan. Setelah punya cukup dana, mereka membeli tanah untuk mendirikan loji di Jalan Aris Munandar
Ketika itu gedung dibangun dua lantai dengan gaya arsitektur Nieuw Indische Bouwstil atau gaya hindia baru. Salah satu ciri arsitektur ini yakni atap menjulang dengan ventilasi yang bagus menyesuaian iklim tropis.
Pembangunan loji itu selain jadi tempat perkumpulan, juga digunakan untuk mendirikan sekolah Frobel atau sekolah khusus bagi anak-anak miskin. Di lantai satu terdapat perpustakaan rakyat. Koleksi bukunya disebut-sebut salah satu yang terbanyak di Hindia Belanda masa itu. Mereka lalu lalu pindah ke sebuah gedung baru dan besar di depan Taman Cerme pada 1930an.
Sekarang, gedung pertama mereka telah berfungsi sebagai POP Mason52, kafe yang menawarkan minuman teh beragam jenis sebagai unggulannya. Sedangkan gedung kedua, kini jadi The Shalimar Boutique Hotel. Kedua pengelola itu berusaha mempertahankan keaslian gedung.
Jejak freemason itu tidak hanya dapat dilihat dari bekas gedung mereka yang sampai hari ini masih berdiri. Makam anggotanya pun masih bisa ditemui seperti di kawasan Kuburan Londo atau Tempat Pemakaman Umum (TPU) Nasrani, Sukun.
Di areal pekuburan seluas 12 ribu meter persegi ini, terdapat lebih dari 200 makam orang eropa era kolonial. Beberapa di antaranya adalah makam anggota freemason yang terpencar di berbagai sudut, bercampur di antara makam – makam baru.
Beberapa makam orang eropa era kolonial di TPU ini bisa dengan mudah diidentifikasi. Cirinya pada pusara tertulis jelas nama, tempat dan tahun kelahiran, serta tahun meninggal. Seluruhnya tertulis dalam bahasa Belanda. Ada pula yang sudah tidak bisa dibaca karena batu nisannya rusak.
Pembeda bila itu makam anggota freemason adalah keberadaan lambang atau simbol jangka dan penggaris siku maupun daun akasia. Berdasarkan kepercayaan kuno orang Ibrani, daun akasia digunakan sebagai penanda makam. Bagi freemason, akasia dapat melambangkan keabadian jiwa.
Di TPU Sukun ada tiga makam anggota tarekat mason bebas itu yang bisa ditemukan. Batu nisannya tertutup rumput dan semak belukar. Dua makam di antaranya letaknya tepat berdampingan. Pada satu makam tertulis nama Dr. P.A.AF Eyken, lahir di pada 20 April 1868 di Kediri.
Dia meninggal pada 20 Agustus 1934 di Pujon, Malang. Sedangkan makam di sebelahnya tanpa keterangan, tapi terdapat simbol daun akasia. Diperkirakan itu adalah makam istrinya dan bukan seorang keturunan eropa asli.
Dr Eyken merupakan seorang dokter militer terpandang pada masa itu. Dia juga dikenal sebagai peneliti botani yang produktif. Dia pernah diberitakan koran berbahasa Belanda, Algemen Handelsblad terbitan 31 Oktober 1913 saat menghadiahkan koleksi bahan obat-obatan herbal ke Universitas Utrecht di Belanda.
Dr Eyken pernah mendapat penghargaan dari Dinas Kesehatan Masyarakat Hindia Belanda. Apresiasi itu diberikan karena penelitiannya tentang pemurnian biologis di kolam Kebun Botani Bogor atau Kebun Raya bogor. Dia pindah ke Malang karena ditugaskan menjadi dokter dan kepala apoteker di Rumah Sakit Millter di kota ini.
Saat meninggal, koran Surabaya Handelsbald pada 29 Agustus 1934 memberitakan prosesi pemakamannya. Koran berbaha Belanda itu menuliskan, jenasah Eyken disemayamkan di sebuah loji di dekat Taman Cerme untuk penghormatan terakhir lalu diberangkatkan ke makam Sukun.
Satu makam lagi berada di area belakang komplek TPU Sukun. Kondisi makamnya tertutup rerumputan, di atas marmer terpahat nama Pieter A. Allaries, 1891-1941. Di bawahnya tergurat lambang jangka dan mistar siku.
Tak bisa dipastikan siapa sosok ini, apakah tentara, pejabat pemerintahan, pengusaha, penulis atau ilmuwan. Tapi bila melihat keberadaan lambang jangka dan mistar pada batu nisannya, menegaskan bila Pieter merupakan seorang anggota freemason. ZAINUL ARIFIN