Mengenang GOR Pulosari Malang, Kawah Candradimuka Musisi Tanah Air

DeMalang.ID-Usman Mansur, 70 tahun, mengingat pernah menjebol pintu Gelanggang Olahraga (GOR) Pulosari, Jalan Kawi Kota Malang demi bisa menonton pagelaran musik secara cuma-cuma. Bahkan penonton melompat pagar dan menghindari kejaran polisi. Saat itu, polisi kewalahan jumlahnya tak sebanding dengan jumlah penonton yang ingin masuk ke tempat pertunjukan musik.

“Ada pintu yang bisa dijebol, panitia tak tahu,” katanya sembari tersenyum mengenang masa SMA. Ia mengaku kerap menonton secara beramai-ramai, mereka berkumpul kawasan Kayutangan (Sekarang Jalan Basuki Rahmat) Kota Malang. Lantas mereka berjalan kaki bersama-sama sejauh tiga kilometer.

Medio 1970-an sampai 1980-an anak muda di Malang kerap berkumpul di kawasan Kayutangan. Mereka dipimpin Sugeng, seorang pemuda yang kerap bertindak “brutal” jika band yang tampil tak memuaskan selera musik anak muda Malang. “Teman-temannya mengikuti di belakang,” katanya.

Sejumah band masa itu yang pernah tampil  di GOR Pulosarai antara lain The Rollies, Freedom of Rhapsodia, AKA, Jaguar, dan Godbless. GOR Pulosari seperti mangkuk, penonton duduk di tribun melingkar. Sedangkan panggung semi permanen dibangun tepat di tengah-tengah.

“Jika tak puas, kursi lipat dilemparkan ke panggung. Sugeng ini yang mengomando. Sorak-sorak,” katanya. Usman menuturkan saat itu para penonton menyukai penampilan AKA dan The Rollies. Lantaran mereka menyukai permainan dan menuruti permintaan para  penonton.

“Konser The Rollies yang seharusnya selesai jam 12 malam, harus berakhir jam 2 pagi,” katanya.

Ulah para penonton kerap bersorak dan melempari penyanyi lantaran zaman itu selera musik anak muda Malang dipengaruhi musik rock luar negeri anak muda. Antara lain Led Zeppelin dan Deep Purple. Mereka sering memutar piringan hitam band rock luar negeri di kawasan Kayutangan. “Saya sering mengeluarkan dua sound system di pinggir jalan,” katanya.

Duduk meriung, puluhan anak muda bersila menikmati piringan hitam. Serta mencatat lirik lagu. Kayutangan menjadi tempat kumpul anak muda. Anak beraktivitas di sana, mulai bermain band, balapan motor, bertinju dan beragam olahraga lainnya. “Setiap hari. Dulu anak mudanya rukun, guyup,” katanya.

Sementara pendiri Museum Musik Indonesia  (MMI) Hengki Herwanto menilai sikap kritis anak muda terhadap band yang tampil juga dipengaruhi radio amatir yang sering memutar lagu rock terbaru. Pengetahuan bermusik anak muda itu terasah dengan mendengarkan radio.

“Banyak radio yang pemiliknya sering keluar negeri. Pulang membawa piringan hitam terbaru. Diputar di radio, sehingga selera musik anak muda mengikuti perkembangan zaman,” katanya.

Sejumlah band klasik rock yang kerap diputar memanjakan telinga anak muda zaman itu, antara lain Deep Purple, The Rolling Stone, The Beatles, dan Led Zeppelin. Sehingga penonton Malang sering dianggap kritis. Teriakan tersebut disampaikan dengan jenaka.

 “Melihat band yang salah bermain atau fals diteriaki.  Diteraiki mudun-mudun (Turun-turun),” katanya.

Uji Mental Band Nasional

Banyak band dari luar Malang, katanya,  saat itu yang takut bermain di Malang. Namun, ada pula band yang menyayangkan aksi penonton yang dianggap brutal. Tak hanya mengejek, penonton Malang juga memberi tepuk tangan meriah terhadap band yang tampil menghibur.

The Rollies sukses. Beberapa kali tampil selalu dapat applause,” kata Hengki yang saat itu juga menjadi jurnalis majalah musik Aktuil.

Hengki mengamati dan mereportasekan pertunjukan musik di GOR Pulosari pada medio 1977-1981. Para penonton di Malang, katanya, untuk membeli tiket pertunjukan rela harus menjual celana  jins di pasar loak. Mereka berkorban untuk mendapat tiket mahal, dan berharap mendapat tontonan yang bagus.

“Mereka merasa membeli tiket mahal dan merasa berhak menikmati musik yang bagus. Jika tak puas ya protes,” katanya.

GOR Pulosari, katanya, menjadi venue pertunjukan utama dengan kapasitas 3 ribu penonton. Sedangkan pertujukan musik dengan penonton lebih sedikit diselenggarakan di lapangan Tenun, kolam renang stadion Gajayana Malang dan gedung bioskop Malang Theater.

Hengki mengingat penampilan Rhoma Irama paling banyak menyedot penonton. Penonton berjubel, antre di luar GOR Pulosari. Bahkan, Hengki terlambat sehingga tak bisa memfoto aksi Rhoma Irama di atas panggung. “Penonton terbanyak yang saya tahu. Antrean panjang membeli tiket. Banyak makelar,” katanya.

Meski GOR Pulosari merupakan arena olah raga, namun secara akustik cukup baik untuk pertunjukan musik. Menurut Hengki tergantung sound system dan operatornya. GOR Pulosari juga menjadi ajang festival band. Salah satunya diselengarakan oleh Event Organization milik Eddy Rumpoko salah putra Wali Kota Malang Sugiono. Sehingga sejumlah band asal Kota Malang tampil dan berproses di sana, antara lain Avia, Tornado, dan Elvira.

Saat kuliah di ITS, Hengki bersama teman-teman di SMA yang tergabung dalam Kaca Grup menyelenggarakan festival vokal grup. Pengumuman juara dan menghadirkan bintang tamu yang diselenggarakan di GOR Pulosari. Pada 14 Mei 1977, bintang tamu Leo Kristi, Tornado dan Avia. Selain itu, bergantian mengundang Ebiet G Ade, Ogle Eyes.dan Franky Sahilatua.

Biaya sewa gedung, katanya, cukup terjangkau. GOR Pulosari dikelola Pemerintah Kota Malang. Sehingga mampu menggelar festival selama empat kali berturut-turut. Hengki juga mengingat penampilan lady rocker, Silvia Sartje yang kerap tampil seksi. Berdandan dengaan kostum seronok, dan unik. “Saat itu tak banyak penyanyi rock wanita,” katanya.

GOR Pulosari, katanya, menjadi legenda musik di Malang. Akhir 1997 mahasiswa STIE Kertanegara menyelenggarakan festival musik yang mengundang Pas Band, Burgerkill, dan Forgotten dari Bandung. Festival tersebut ternyata menjadi pertunjukan musik terakhir di GOR Pulosari. Awalnya Pemerintah Kota Malang menyampaikan akan merenovasi GOR Pulosari, belakangan berubah fungsi menjadi toko swalayan.

Hengki berharap Pemerintah Kota Malang kembali menghadirkan ruang publik yang sama dengan GOR Pulosari. Dengan membangun kembali GOR Pulosari sebagai ruang ekspresi untuk bermusik sekaligus berolahraga.

Setelah direnovasi dengan akustik yang bagus, katanya, harus diisi dengan calender event yang konsisten. Daripada membangun Malang Creative Center (MCC) yang kabarnya menyedot anggaran hampir Rp 100 miliar. “Saya belum menonton film Saparua. Pemkot Malang bisa belajar ke Bandung yang merevitalisasi GOR Saparua,” katanya.

Kemajuan teknologi, katanya, memungkinkan hadir panggung secara virtual. Namun, anak muda membutuhkan ruang untuk interaksi langung antara penonton dan musisi. Melihat respon penonton saat pertunjukan berlangsung.

Hengki menyebut Nova Ruth, Wukir Suryadi, dan Wake Up Iris sebagai musisi muda Malang yang dikenal luas. Namun, tak dikenal pejabat pemerintah Kota Malang.”Anak muda yang seperti mereka banyak, kualitas musiknya bagus,” katanya.

Godbless setahun lalu tampil dalam NGALAM NGEROCKembali di Grha Cakrawala Universitas Negeri Malang. Godbless tampil dalam even yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya dan Myro Production 4 Maret 2020. Vokalis Godbless, Ahmad Albar dalam konferensi pers mengaku bernostalgia saat tampil di Malang.

Penampilannya ini membetot ingatan Iyek saat tampil di depan publik Malang di GOR Pulosari pada 1973. Godbless dinilai sukses dalam konser yang diselenggarakan saat itu.

“Kami pernah manggung di GOR Pulosari tahun 1974. Dikenal sebagai kawah candradimuka dan uji nyali kelayakan kualitas band rock tanah air. Lolos diterima publik Malang saat itu. Membuat kami yakin hijrah di Jakarta,” tutur Iyek. Personil Godbless lainnya yakni Ian Antono dan Abadi Soesman yang asli Malang, mengamini pernataan Iyek tersebut.

Sedangkan dalam Konser Holozination Masterpiece of Dewa 19 di Graha Cakrawala September 2012 Ahmad Dhani juga mengingat pernah tampil di GOR Pulosari. “Akhirnya kita ke Malang lagi. Sudah lama banget nggak ke sini. Salah satu konser Dewa yang paling berkesan di GOR Pulosari, kalau nggak salah tahun 1994,” kata Dhani di atas panggung 18 September 2012.

Elek Mudun

Ovan Tobing mengenang saat menjadi MC pagelaran musik di GOR Pulosari harus menenangkan penonton yang emosi. Vokalis Ogle Eyes mendiang Micky Jaguar dilempari saat tampil bareng Godbless. Penonton tak puas, mereka melempar telur busuk, tomat dan batu ke panggung.

Publik Malang menuntut band harus tampil apik dan komunikatif. Jika tampil jelek, penonton akan mengejek dan bersorak. “Elek (Jelek)..Mudun (Turun)….,” teriak penonton ditirukan Ovan.

Jangan coba-coba pertunjukan berhenti sebelum pukul 24.00 WIB, kata Ovan, penonton bisa mengamuk. Sehingga band terpaksa bermain sampai pukul 24.00 WIB. Ovan harus berdialog dengan aparat kepolisian yang meminta konser dihentikan lebih awal.

“Siapa yang berani membubarkan? Pilihannya diteruskan beberapa menit, dijamin aman. Atau saya naik panggung pertunjukan dibubarkan, terus kisruh. Saya angkat tangan,” kata Ovan kepada polisi. Ovan menyampaikan, jika ia harus bersedia berdialog, dan menyampaikan dengan gaya bergurau. Hasilnya, pertunjukan berakhir aman dan penonton puas.

Para penonton pulang berjalan kaki, dan mereka sama sekali tak menganggu di sepanjang jalan. Ovan yang juga penyiar Radio Senaputra ini memahami karakter dan selera musik para penonton Malang. Sehingga ia sering didapuk menjadi MC saat sejumlah band tampil di GOR Pulosari. 

Ovan mengampu program musik rock, dan ia sering memutar penampilan band luar seperti Led Zeppelin saat live show. Sehingga publik tahu, dan hapal lagu mereka. Sehingga memandu selera musik para pemuda di Malang saat itu.

Vokalis Cockpit, mendiang Freddy Tamaela mengaku tak bisa melupakan saat tampil di GOR Pulosari. Ia menggenjot habis dua jam dengan lagu-lagu karya Genesis. Luar biasa, katanya, penonon sangat puas. Sepanjang pertunjukan penonton terus ikut bernyanyi.

“Freddy menyampaikan sampai gak perlu bernyanyi, karena penonton menyanyi sendiri,” katanya. Sebelum Cockpit tampil, Radio Senaputra memang kerap memutar lagu-lagu Genesis. Sehingga penonton hafal semua lirik lagu.

Para musisi menilai, katanya, jika bermain di GOR Pulosari tekanannya besar. Sehingga harus siap dengan fisik yang prima dan mental yang kuat. Jika tak siap, mereka bakal kewalahan saat menghadapi penonton di GOR Pulosari. Jika tak tampil apik, para penonton di bawah kerap menendang seng pembatas penonton dengan panggung. Kacau.

Penonton di GOR Pulosari, kata Ovan, pernah menyebut nama Gombloh. Mereka teriak, “gombloh….gombloh”. Menghadapi sebanyak 4 ribu sampai 5 ribu penonton, Gombloh menyambut dengan santun dan santai. “Mari nyanyi bersama lagu Padamu Negeri,” tutur Gombloh kepada penonton seperti ditirukan Ovan.  Itulah kepiawaian Gombloh meredam penonton.

Slank dan Dewa sempat gagal mendapat sambutan penonton di Malang. “Tapi mereka mampu menebusnya. Jika ada band yang tak disukai penonton, mereka berjanji akan kembali untuk menundukkan publik Malang,” latanya.

Yang dibutuhkan penonton, katanya, bukan sekedar bermain musik. Tetapi pertunjukan yang atraktif, untuk menyenangkan publik Malang. Makin gila band yang tampil, katanya, makin senang penonton.

“Banyak musisi yang menilai Malang sebagai kota musik. Mereka tertantang tampilan di GOR Pulosari dan berharap diapresiasi penonton,” katanya. GOR menjadi sentra musisi dan seniman Indonesia.

Namun, secara akustik bangunan yang biasa digunakan ajang olahraga seperti bola voli, basket, dan tinju kurang mendukung untuk sebuah panggung pertunjukan. “Sound engineering rata-rata kebingungan. Bangunan bulat sehingga audio gak karu-karuan. Tapi tak ada pilihan lain, meski suara mbulet di dalam gak peduli,” latanya.

Momen tersebut tak bisa diulang, katanya, namun jika Pemerintah Kota Malang dan pejabat peduli dan memiliki nilai seni seharusnya merenovasi bekas GOR Pulosari. “Pemkot Malang memiliki kemampuan merenovasi GOR Pulosari. Apa ada pemimpin yang berani bertindak untuk seni?,” tutur Ovan menantang Wali Kota Malang.

Ovan mengaku belum menonton film GOR Saparua. Menurutnya, GOR Saparua juga sebuah tempat pertunjukan bergengsi di masanya. Sejumlah band papan atas pernah tampil di sana. GOR Saparua identik dengan GOR Pulosari.

Kenangan Silvia Sartje

Silvia Sartje yang dikenal sebagai Lady Rocker pertama Indonesia mengenang pertama manggung di GOR Pulosari bareng The Rollies pada medio 1973. Saat itu, ia tampil energik bareng band Tornado. Selain menjadi vokalis Tornado, kadang ia juga menjadi vokalis cabutam untuk Avia, Elvira, dan Bentoel.

Paling fenomenal, katanya, saat kali kedua tampil dalam Vacancy Rock yang diselenggarakan majalah musik Aktuil. Tampil bareng Godbless.  Silvia yang akrab disapa Jipi ini tampil seperti dinamit, meledak. Ia menyanyikan lagu Deep Purple dan Led Zeppelin. Ia dielu-elukan. Teriakan penonton, membuat Jipi semakin menggila. Penonton meluber sampai di jalan. “Darah dari kaki naik ke atas. Panaslah,” katanya.

Usai pementasan, sejumlah media lantas menyebutnya sebagai Lady Rock pertama Indonesia. Penampilan tersebut memukau penonton dan membuka karir musiknya menjadi penyanyi. “Aku dimenangkan zaman dan juga karena tinggal di Malang yang penontonnya kritis,” ujarnya.

Ia mengaku banggga diterima dan dipuji penonton di kotanya sendiri. Meski awalnya mengaku jiper, lantaran penonton dikenal kritis. Para menonton, katanya, saat konser mengenakan kostum keren meniru super star. “Berdandan mengenakan celana cutbray, rompi. Keren-keren,” katanya.

Jipi juga mengenang tampil GOR Pulosari saat tergelincir dan jatuh dari panggung setinggi 2,5 meter. Namun, ia langsung bangkit, dan seolah-olah tengah berakting beraksi seolah bagian dari pertunjukan. “Show must go on. Sakit. Penonton mengira atraksi mirip Ucok AKA. Kaki sempat keseleo,” katanya.

Ia juga pernah show di Gelanggang Saparua, Bandung. Ia diundang tampil dalam Apresiasi Musik Unpad. Tampil dengan menyanyikan lagu Pink Floyd berjudul ” The Great Gig in The Sky “. Juga sejumlah lagu karya Aerosmith dan Led Zeppelin. Jipi tampil prima dan diapresiasi penonton. “Balik ke Malang Minggu, Senin saya ujian kelulusan,” katanya.

Usai lulus SMA, ia memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1975-an. Wartawan Selekta Heri Mansyur meminta izin orang tua Jipi, mengajaknya bergabung dalam band Orchid. Ian Antono yang menonton penampilan Jipi di Hotel Gajahmada terpukau. Lantas melalui Micky Jaguar, Ian mengajak Jipi rekaman. Micky dikenal Jipi saat menjadi vokalis cabutan untuk Bentoel dan Ogle Eyes.

“Rekaman lagu biarawati volume pertama pada 1978. Meledak,” katanya. Secara akustik, katanya, kualitas audio GOR Pulosari kurang bagus. Namun, musisi beken tanah air pasti memiliki kenangan tampil di GOR Pulosari. Namun, disayangkan setelah GOR Pulosari berubah fungsi menjadi toko swalayan.

 “Saat itu saya sempat mbrebes mili (Berlinang air mata). Sedih. Konser di mana?,’ katanya. Ia mengaku berteriak namun tak dianggap. Musisi dan anak muda protes secara diam-diam.

“Nelangsa sedih. Satu satunya gedung pertunjukan yang menjadi rumah bagi seniman,” katanya.  Disayangkan tak ada gedung sekaliber GOR Pulosari. Berharap, saat ini pejabat tergerak merenovasi GOR Pulosari.

Menurut Jipi, Malang membutuhkan concert hall yang memiliki akustik bagus untuk sebuah pertunjukan. Baik pertujukan musik, orkestra, sendratari maupun tonil. Menjadi rumah bagi seniman.

Hingga kini, Jipi terus mengisi hidupnya dengan bermusik. Bernyanyi keliling Nusantara. Terakhir, ia tampil Februari 2020 di Kediri. Ia memilih berdiam diri di rumah selama pandemi. EKO WIDIANTO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *