Menyantap Orem-orem Khas Malang

DeMalang.ID—Orem-orem menjadi salah satu kuliner khas Malang yang tak boleh ditinggalkan. Anda wajib mencicipinya, salah satunya di Orem-orem Haji Abdul Manan utaraPasar Comboran Kota Malang.  Sebuah bangunan seluas empat meter kali lima meter, di depan warung sebuah gerobak berisi sayur orem-orem dan bergelantungan ketupat jumbo.

Silih berganti pembeli berdatangan, menikmati sepiring orem-orem terdiri atas irisan tempe, kecambang diguyur kuah santan berwarna kuning. Mau menambah lauk? Tersaji aneka olahan tempe berupa tempe goreng dan mendol khas Malang. Ditambah telur asin. Silakan dipilih. Harga bersahabat, seporsi orem-orem cukup dibayar Rp 10 ribu.

“Pelanggan mulai PNS, polisi, mahasiswa sampai tukang becak,” kata Kusnan Basori, 42 tahun. Kusnan telah delapan tahun mengantikan peran bapaknya, Haji Abdul Manan yang meninggal tujuh tahun lalu. Warung orem-orem dikelola oleh anak-anak mendiang Haji Abdul Manan.

Almarhum Haji Abdul Manan memulai berjualan orem-orem sejak 1973. Awalnya, dia berjualan angsle di Pakisaji Kabupaten Malang. Berjualan orem-orem atas saran seseorang berdarah Madura. Tak berpikir panjang, Almarhum Haji Abdul Manan berbelanja dan belajar memasak orem-orem. “Belajar memasak secara otodidak,” kata Kusnan.

Ia memulai dengan berjualan dengan dipikul berkeliling Kota Malang. Lantas setahun kemudian membuat gerobak dorong dan berjualan di Jalan Gatot Subroto. Setelah pembeli ramai, ia mengajak adiknya Haji Sahri berjualan orem-orem. Lantas, Haji Abdul Manan berpindah berjualan di kawasan sekitar Pasar Kebalen, Kota Malang. Kemudian sejak 1995 berpindah di Jalan irian Jaya Nomor 4, samping Pasar Loak, Comboran.

Berpindah lokasi jualan, lantaran lokasinya lebih strategis dan pembeli lebih banyak. Kini, lebih dari 10 famili mendiang Haji Abdul Manan turut berjualan orem-orem yang tersebar di wilayah Kota Malang. Warung orem-orem dibuka mulai pukul 09.00 WIB sampai 16.00 WIB.

Wakil Bupati Malang, Didik Gatot Subroto menjadi pelanggan tetap. Ia sering makan siang di warung bersama teman dan keluarganya. Pembeli ramai, katanya, sejak pagi untuk sarapan dan makan siang. Namun, sejak enam bulan terakhir pembeli berkurang. “Kondisi ekonomi sekarang turut mempengaruhi jumlah pembeli,” katanya.

Program Wisata Kuliner Trans TV, Bondan Haryo Winarno sempat menikmati orem-orem. Foto mendiang Bondan Winarno dan mendiang Haji Abdul Manan dipajang di dinding warung. Foto sejumlah selebritas dan artikel di media cetak dibingkai dan dipasang di dinding. “Banyak youtuber yang datang, mereka penasaran,” kata Kusnan.

Media sosial turut andil mengenalkan masakan orem-orem kepada anak-anak muda, mahasiswa dan pelajar. Sebagian besar penasaran dengan ketupat jumbo yang bergelantungan. Satu buah ketupat bisa disajikan untuk 8-12 porsi orem-orem. Sedangkan dalam sehari, menghabiskan sebanyak 20-an ketupat. Serta membelanjakan Rp 150 ribu untuk membeli tempe, diolah menjadi orem-orem, tempe goreng dan mendol.

Usai berjualan, Kusnan dan keluarga besarnya langsung menanak ketupat jumbo di rumah mulai pukul 16.00 WIB sampai pukul 06.00 WIB. Selama 12 jam.  Sedangkan mulai pukul 07.00 WIB bersama-sama meracik bumbu, memerah santan kelapa dan mengolah sayur orem-orem. Kuah santan menggunakan bumbu lengkap, seperti jahe, kunir, bawang, kunyit, lengkuas, dan lain-lain dicampur ditambah santan. Sebagian, menggoreng tempe, dan mendol.

Resep Turun Temurun

Kusnan menyatakan tetap menjaga citarasa dan kualitas masakan orem-orem menghadapi aneka masakan modern yang menjamur di kota Malang. Resep warisan mendiang Haji Abdul Manan tetap dipertahankan. Semua dikerjakan sendiri oleh anak keturunan Haji Abdul Manan.

Sejauh ini, tidak ada jurnal atau penelitian tentang asal usul atau sejarah orem-orem khas Malang. Pengajar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Ary Budiyanto memperkirakan orem-orem muncul sejak pasca tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saat itu, katanya, terjadi krisis dan makanan mahal. Soto yang menggunakan daging ayam, diganti tempe yang lebih murah. Nasi diganti ketupat, dengan beras sedikit menjadi ketupat yang lebih banyak. “Saat itu larang pangan (mahal makanan). Diberi kuah biar kenyang. Ada hipotesis saat zaman pendudukan Jepang terlalu jauh,” katanya.

Namun, tidak ada literatur yang menjelaskan nama orem-orem. Apakah dari frasa marem atau puas? atau ada ungkapan lain.  “Nama lain soto tempe, atau soto kere,” kata Ary yang menulis jurnal berjudul “Menyantap Soto Melacak Jao To Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa”.

Ari saat soto menjelaskan jika soto lebih tepat dikonsumsi dengan lontong atau ketupat. Dipilih lontong atau ketupat karena lebih praktis, awet dan hasilnya lebih banyak. Termasuk ketupat untuk orem-orem yang diperkirakan saat terjadi krisis pangan.

Seperti di Kudus, katanya, muncul masakan lentok pada 1960-an. Resep masakan dalam sebuah lingkungan, kemudian dijajakan untuk konsumsi masyarakat. Sama saat krisis moneter 1998, katanya, banyak yang membuka usaha makanan. “Mencari duit dan pangan,” kata penulis buku “Rendang, Balado, Bafado, Gulai & Kari”. EKO WIDIANTO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *