DeMalang.ID-–Belasan muda-mudi duduk meriung, mereka menyimak Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Imam Nahei menyaol kekerasan perempuan. Mereka menghadiri Jagongan Gubuk bertema Melacak Akar Kekerasan terhadap Perempuan dari Sudut Pandang Agama yang diselenggarakan Oase Institute, Duta Damai Jawa Timur dan Gubuk Tulis pada Rabu malam, 18 September 2024.
Berbagai minuman dan kudapan menemani Jagongan Gubuk di lantai tiga Oase Cafe & Literacy, Jl. Joyoutomo V Blok F, No. 1, Desa Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Teolog dan Aktivis Pendeta Nicky Widyaningrum turut menguraikan fenomena kekerasan terhadap perempuan dari sudut pandang keyakinannya. Untuk menghibur peserta diskusi, musisi Ainurrahman bernyanyi di sela diskusi dengan petikan gitar akustik.
Lantai tiga Oase Cafe & Literacy, kerap menjadi tempat diskusi, bedah buku, nonton bareng film dan rapat. Sejumlah tokoh kenamaan pernah menjejakkan kaki di Oase, meliputi akademikus Monash University Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir, Sastrawan Candra Malik, sastrawan Soesilo Toer, dan seniman Sujiwo Tejo. Pemilik Oase Cafe, Al Muiz Liddinillah menjelaskan kehadirkan para tokoh menyedot perhatian pengunjung. Ia tak bisa melupakan saat bedah buku karya Gus Nadir, pengunjung membludak.
“Sebanyak 200 orang hadir. Hanya bisa menampung 100 orang, selebihnya di luar,” ujarnya. Tak ketinggalan aktivis muda NU Syafi’i Alieha atau Savic AliSavic Ali, Dandhy Dwi Laksono (Watcdoc), Indonesianis Jhon Rossa dan penulis buku Menjerat Gus Dur Virdika Rizky Utama juga pernah berdiskusi di Oase Cafe. Mereka berinteraksi dengan aktivis mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Malang.
Sejumlah diskusi menuai pro dan kontra. Seperti dialog Syiah dan Sunni pada 7 Maret 2017. Sejumlah warga nahdliyin dan warga memboikot dan keberatan atas dialog Syiah-Sunni yang menghadirkan nara sumber Mukhtar Luthfi dari Ahlul Bait Indonesia Jawa Timur dan Ahmad Kholil Pengurus Cabang NU Kota Malang. Beruntung, warga bisa diredam dan dialog berlangsung sampai selesai.
Diskusi terkait peristiwa 1965, marxisme, dan sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) juga tergolong sensitif saat digelar di Oase Café. Petugas intelijen Kepolisian Resor Kota Malang mendatangi Oase Cafe. Namun, diskusi tetap berlangsung.
Episentrum Gerakan Literasi
Oase menjadi salah satu episentrum gerakan literasi di Kota Malang. Menjadi tempat asyik untuk diskusi, ngobrol dan bedah buku. Sebagian besar pengunjung berstatus mahasiswa, akademikus, pelajar dan aktivis. Lokasinya strategis, dekat dengan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang.
Oase Cafe buka mulai pukul 10.00 WIB sampai 02.00 WIB. Nongkrong di Oase Cafe tak bakal membuat kantong jebol. Harga minuman dan kudapan ramah di kantong, rerata antara Rp 8 ribu sampai 14 ribu. “Bisa minum teh hangat saja seharga Rp 5 ribu,” kata Muiz.
Oase Cafe didirikan Muiz bersama tiga temannya Januari 2017. Mereka patungan untuk menyewa tempat dan membeli perlengkapan cafe. Namun, pandemi menghajar bisnis mereka. Sehingga, ketiga temannya memilih mundur dan menyerahkan pengelolaan kepada Muiz seorang. “Sekarang mulai merangkak naik, pulih 60 persen. Rerata pengunjung setiap hari antara 45-60 orang,” ujar alumni UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Oase Cafe didirikan karena kecintaan Muiz dalam dunia literasi, sejak mahasiswa mereka mendirikan komunitas literasi bernama Gubuk Tulis. Mereka kerap berdiskusi dengan beragam tema sosial dari warung kopi ke warung kopi. Di antara diskusi, Muiz juga berdagang buku. Hasil penjualan buku digunakan untuk membiayai aktivitas Gubuk Tulis.
Setelah lulus kuliah, Muiz bersama ketiga temannya merintis Oase Cafe. Komunitas Gubuk Tulis, Gusdurian Malang, Perempuan Bergerak, dan Duta Damai Jawa Timur menjadi pelanggan tetap Oase Cafe. Mereka menggelar berbagai even yang menghadirkan sejumlah tokoh. Oase Cafe juga menyediakan buku bacaan yang bisa dibaca dan dipijam secara cuma-cuma.
Sebagian besar berupa buku sastra dan filsafat. Buku koleksi Oase Cafe sebagian besar sumbangan dari komunitas, pegiat literasi dan penerbit. Pengunjung yang meminjam buku diminta meninggalkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). “Dulu longgar, bisa dibawa pulang tapi ternyata 30-an buku tidak kembali. Hilang,” ujarnya.
Rata-rata kini setiap hari 2-3 pengunjung menghabiskan waktu dengan membaca buku yang terpajang di sudut ruangan Oase Cafe. Sembari ngopi, dan menikmati kudapan, pengunjung melahap beragam buku sastra dan filsafat. Dulu sebelum Pandemi, kata Muiz, sekitar 10-an pengunjung per hari yang membaca buku.
Sedangkan toko buku Oase saat ini menyediakan sekitar 300-an eksemplar buku.
Toko Buku Oase dengan tagline “aku membaca, aku tak sendiri” menyediakan beragam buku dari penerbit Marjin Kiri, Obor, LKiS, Diva Press, Mata Bangsa, Globalindo, Alvabet, Pelangi Sastra, Kota Tua, Intrans, Langgar, Interlude, dan penerbit indie lainnya.
Mahasiswa hingga Aktivis
Toko buku Oase juga menjual buku melalui akun Instagram dan loka pasar. Toko Buku Oase juga memberikan potongan harga bagi para pegiat literasi, komunitas sastra, atau komunitas kajian lain. “Kami mendukung setiap kegiatan yang diselenggarakan komunitas yang berjejaring dengan Oase,” kata Muiz.
Pasca Pandemi, kata Muiz, geliat literasi dan komunitas menurun. Mahasiswa dan anak muda, katanya, menyukai aktivitas di media sosial. Menampilkan beragam foto dan video di media sosial. Sedangkan, sebagian pengunjung para pelajar sekadar minum dan bermain gim bersama-sama temannya. Sebagian terlihat mengisap rokok. “Secara halus ditulari virus literasi. Kadang kita ajak ngobrol dan membaca buku yang tersedia di sini,” kata Muiz.
Selain buku, atmosfir literasi juga lekat di Oase Cafe. Sebuah rak berisi deretan buku, sedangkan di sudut lain beragam buku koleksi Oase Cafe yang bisa dibaca pengunjung secara gratis. Dinding dihias lukisan sosok Pramoedya Ananta Toer, Mohammad Hatta dan KH Abdurrachman Wahid.
“Minimal sosok mereka lekat dalam memori, memicu kegelisahaan dan keingintahuan mengenal tokoh tersebut,” katanya.
Mahasiswa sekarang, ujar Muiz, tak ada yang menjadi pelanggan tetap. Mereka memilih dan mencoba kedai kopi kekiniaan dan berkeliling menjajaki kedai kopi yang tersebar di berbagai sudut kota Malang. Kadang mereka dipengaruhi konten viral di media sosial seperti TikTok. “Kalau dulu kan banyak pelanggan tetap. Sekarang, istilah pelanggan tetap itu gak ada,” kata Muiz.
Melalui Toko Buku Oase dan Oase Café & Literacy, Muiz menginisiasi berdirinya Oase Institute dan Oase Store. Oase Institute menjadi wadah penelitian dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan Oase Store (www.oasestore.id) merupakan loka pasar untuk toko buku Oase dan beragam produk kriya.
Oase Café & Literacy, Perempuan Bergerak, dan Gusdurian menyelenggarakan Sekolah Literasi Gubuk Tulis untuk melatih penulis baru dan membuat konten di media sosial. Pada 2018, digelar Bazar Buku di Perpustakaan Kabupaten Probolinggo berjudul Proliterasiku; Literasi untuk Kemajuan. Menyajikan pentas teater dan pelatihan bersama Ken Zuraida, dan bedah buku. Toko Buku Oase dan Oase Café mendukung musisi pelaku dunia kreatif. Menjadi panggung bagi sejumlah musisi Malang seperti Kerabat Swara, Han Farhani, dan Kak Fey.
Salah seorang pengunjung, Delta Nisfhu mahasiswa akhir Universitas Negeri Malang mengaku mengenal Oase Cafe dari teman sesama mahasiswa. Ia diajak mengerjakan tugas kuliah pada medio 2021. “Suasana enak untuk nugas. Tenang dan adas fasilitas WiFi yang memadai. Dekat dari kampus,” ujar Delta.
Delta juga mengaku sebulan terakhir menggelar nonton bareng film dokumenter Kutukan Nikel karya Watchdoc. Sekretaris Jenderal Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Malang ini kerap berinteraksi dengan teman-teman mahasiswa di sini. Namun, ia tak tertarik membaca buku yang disediakan Oase Cafe. “Bawa buku sendiri, kemarin saya baca novel Lemah Tanjung,” tutur Delta. EKO WIDIANTO