[Opini] Demi Sang Saka Merah Putih: Urgensi Pengawasan Pembinaan Olahraga yang Independen

Oleh : Heru Nugroho
Sekjen BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) 2014 – 2018

Setiap kali Bendera Merah Putih berkibar gagah di podium juara internasional, diiringi lantunan “Indonesia Raya”, ada getaran kebanggaan yang tak ternilai di dada setiap anak bangsa. Momen ini, yang kerap kita saksikan dari prestasi atlet olahraga, adalah simbol terkuat kehormatan dan identitas kita di mata dunia. Namun, kita harus jujur mengakui, frekuensi pengibaran Sang Saka Merah Putih di kancah global—terutama di cabor-cabor populer—masih jauh dari harapan. Dalam tiga edisi SEA Games terakhir misalnya, kita belum mampu merebut kembali posisi juara umum, kecuali saat menjadi tuan rumah. Ironisnya, sejak era Reformasi, kita baru sekali merayakan juara umum di ajang ini, itupun saat kita bertindak sebagai penyelenggara di tahun 2011. Ini adalah cermin nyata bahwa olahraga, sebagai sektor strategis, masih menghadapi tantangan serius dalam hal pembinaan.

Ketika Fondasi Terabaikan: Problem Akut Olahraga Nasional

Ambil contoh sepak bola. Dengan jutaan penggemar dan fanatisme yang luar biasa, cabor ini menjadi pintu masuk paling ampuh untuk memahami betapa vitalnya pembinaan. Kekalahan telak timnas di laga-laga penting, meskipun menyakitkan, justru harus menjadi cermin bahwa masalah sesungguhnya ada di hulu.

Kita sering berbicara tentang kualitas teknis di lapangan, tetapi jarang menggali lebih dalam soal bagaimana talenta-talenta muda ditemukan, dibina, dan dilindungi. Permasalahan klasik seperti terbatasnya sarana dan fasilitas publik yang layak, kualitas pelatih yang belum merata, serta potensi penyelewengan dana investasi, menjadi benang kusut yang sulit diurai.

Mengandalkan pemerintah melalui kementerian terkait, meskipun punya niat baik, seringkali terkendala oleh sistem birokrasi dan keterbatasan sumber daya manusia yang profesional dan spesifik di bidang olahraga. Sementara itu, berharap penuh pada federasi olahraga, tak jarang terbentur kepentingan jangka pendek dan obsesi pada reputasi sesaat, melupakan investasi jangka panjang pada pembinaan. Pengalaman pahit di masa lalu dengan badan pengawas yang mudah diintervensi dan kekurangan anggaran adalah bukti nyata.

Solusi Mendesak: Komite Pengawas Pembinaan Independen Multi-Cabor

Untuk memutus mata rantai masalah ini, kita membutuhkan sebuah solusi radikal namun terstruktur: pembentukan Komite Pengawas Pembinaan Independen (KPI) untuk seluruh cabang olahraga. Lembaga ini harus dirancang dengan pilar-pilar utama yang kuat dan anti-intervensi:

  1. Legitimasi Negara, Otonomi Penuh: KPI ini perlu mendapatkan legitimasi kuat dari negara, misalnya melalui Keputusan Presiden, yang bersumber dari amanat Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Penetapan oleh Presiden ini hanyalah pengesahan formal. Proses seleksi anggota KPI harus dilakukan oleh panel seleksi independen yang terdiri dari tokoh-tokoh berintegritas dan kredibel, seperti akademisi olahraga, mantan atlet/pelatih nasional yang dikenal bersih, auditor publik, dan pakar hukum tata negara, jauh dari campur tangan politik atau federasi. Calon anggota KPI sendiri bisa diusulkan oleh berbagai pihak independen, seperti asosiasi atlet profesional, asosiasi pelatih, asosiasi jurnalis olahraga, perguruan tinggi/fakultas ilmu keolahragaan, atau organisasi masyarakat sipil yang kredibel dan fokus pada tata kelola.
  2. Pendanaan yang Akuntabel: Idealnya, KPI didanai melalui dana perwalian (endowment fund) atau alokasi dari dana abadi olahraga yang dikelola secara transparan dan independen. Namun, jika APBN memang harus terlibat di awal, maka alokasinya harus berupa anggaran khusus dan terikat (ring-fenced budget) yang tidak bisa diutak-atik. Setiap rupiah yang digunakan harus diaudit secara berlapis oleh BPK dan auditor independen, dengan laporan keuangan yang wajib dipublikasikan secara detail dan berkala. Target jangka panjang tetap harus membangun kemandirian finansial penuh.
  3. Mandat Lintas Cabor: KPI tidak hanya mengawasi sepak bola, tetapi semua cabor. Mandatnya mencakup pengawasan terhadap implementasi kurikulum pembinaan usia dini, transparansi keuangan klub dan akademi, perlindungan atlet muda dari eksploitasi, dan standardisasi fasilitas.
  4. Profesionalisme dan Akuntabilitas: Anggota KPI harus diisi oleh individu-individu terbaik yang terpilih berdasarkan kompetensi dan integritas. Laporan KPI harus bersifat publik dan rekomendasi mereka harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dengan sanksi tegas bagi pelanggar, mulai dari denda hingga pencabutan lisensi.

Demi Kebanggaan Sejati di Mata Dunia

Membentuk KPI semacam ini memang bukan pekerjaan mudah. Ini memerlukan kemauan politik yang kuat, kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan olahraga, dan komitmen untuk meletakkan fondasi yang kokoh, bukan sekadar memburu popularitas instan. Ini adalah jalan untuk memastikan bahwa sarana dan fasilitas umum untuk talenta muda tersedia melimpah, dan dana investasi tidak diselewengkan.

Jika kita benar-benar memandang olahraga sebagai sektor strategis yang mampu menaikkan martabat bangsa, maka investasi pada sistem pembinaan yang bersih, transparan, dan diawasi secara independen adalah sebuah keharusan. Ini adalah jalan satu-satunya agar bendera Merah Putih bisa lebih sering berkibar gagah di berbagai podium juara dunia, membawa kebanggaan tak terkira bagi kita semua. Ini demi masa depan olahraga Indonesia yang lebih cerah, profesional, dan berprestasi, tidak hanya saat menjadi tuan rumah. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *