Oleh: Heru Nugroho
Praktisi Seni & Budaya
Aksara tradisional Nusantara bukan sekadar coretan masa lalu. Ia adalah jendela ke peradaban, cerminan kebijaksanaan, nilai-nilai, dan sejarah panjang bangsa ini. Aksara berfungsi sebagai jembatan peradaban yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan, sekaligus memperkenalkan kekayaan Nusantara di mata dunia. Namun, jembatan ini kini menghadapi ujian berat, terancam oleh laju zaman dan, yang lebih mengkhawatirkan, oleh “amnesia budaya” yang perlahan menyeruak.
Prof. Dr. Ismunandar, Staf Ahli Kementerian Kebudayaan RI Bidang Kerja Sama Antar Lembaga, menarasikan opininya ke saya melalui percakapan daring : “Aksara tradisional adalah DNA peradaban kita. Mempelajari dan mengembangkannya adalah bentuk perlawanan terhadap amnesia budaya. Pengusulan ke UNESCO bukan sekadar diplomasi—ia adalah strategi untuk menyelamatkan khazanah yang bisa punah dalam satu generasi.” Poin “DNA peradaban” menegaskan bahwa aksara adalah inti identitas kita, mengandung filosofi dan kearifan yang tak ternilai. Mempelajarinya, minimal memahaminya, adalah tindakan aktif untuk memastikan kita tidak kehilangan jejak diri.
Aksara tradisional adalah inti fundamental atau cetak biru genetik dari suatu peradaban, yang menyimpan seluruh informasi penting tentang identitas, sejarah, nilai-nilai, dan cara pandang hidup suatu bangsa.
Realitas Pahit di Lapangan: Aksara di Ambang Kepunahan
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa “DNA peradaban” ini tengah menghadapi ancaman yang sangat serius. Saya sendiri menemukan betapa memprihatinkan kondisi banyak aksara tradisional kita. Misalnya, untuk aksara Lota di Ende, aksara Lampung, Bima, Gayo, Malesung dan Bolaang di Minahasa, sangat sulit menemukan siapa pun yang masih bisa menggunakan, bahkan sekadar membaca, aksara tersebut di daerah asalnya. Ini adalah ironi yang menyakitkan.
Meskipun aksara Jawa, Sunda, dan Bali masih relatif memiliki penutur, menemukan orang yang cakap membaca dan menulisnya juga bukan perkara mudah, dan belum ada sarana penyebaran yang merata. Hanya aksara Pegon yang masih cukup aktif dipraktikkan, terutama di komunitas pesantren karena banyaknya “kitab kuning” yang masih menggunakan aksara ini sebagai bahan ajar. Namun, penggunaannya pun terbatas pada lingkungan tersebut.
Kondisi ini tak lepas dari minimnya perhatian dalam sistem pendidikan formal. Kebanyakan sekolah di Indonesia tidak menempatkan pelajaran aksara tradisional secara memadai, bahkan dalam mata pelajaran bahasa daerah. Setelah berdiskusi dengan kawan-kawan pegiat aksara tradisi Nusantara, kami menyadari bahwa kondisi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur pun tidak bisa dibilang “aman,” karena tidak banyak sekolah yang mengimplementasikan integrasi aksara ke dalam mata pelajaran bahasa daerah mereka. Hanya dua provinsi yang paling merata dan serius dalam mengajarkan aksara di sekolah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali, berkat kepedulian dan kebijakan daerah yang kuat melalui Peraturan Daerah (Perda) mereka.
Di banyak wilayah lain, justru komunitas non-akademiklah yang menjadi garda terdepan, tempat kita masih bisa menemukan individu-individu yang gigih melestarikan kemampuan membaca dan menulis aksara tradisional. Realitas ini sungguh menyedihkan dan memprihatinkan. Pernyataan Prof. Dr. Ismunandar tentang “khazanah yang bisa punah dalam satu generasi” bukanlah isapan jempol belaka; ini adalah peringatan keras yang sudah ada di depan mata kita.
UNESCO: Lebih dari Diplomasi, sebuah Strategi Penyelamatan Krusial
Inilah mengapa pengusulan aksara tradisional ke UNESCO menjadi langkah yang sangat krusial, bahkan bisa dibilang sebagai pertahanan terakhir. Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Ismunandar, ini bukan sekadar upaya diplomasi semata untuk meraih pengakuan. Ini adalah strategi penyelamatan yang vital. Pengakuan dari UNESCO akan membawa perhatian global, memicu dukungan lebih besar untuk penelitian, dokumentasi, revitalisasi, dan pengajaran aksara. Ia akan mendorong pemerintah dan masyarakat internasional untuk berinvestasi dalam konservasi warisan tak benda ini.
Dengan demikian, pengakuan UNESCO tidak hanya menyelamatkan aksara dari ambang kepunahan, tetapi juga mengukuhkan perannya sebagai “jembatan peradaban Nusantara di mata dunia”. Ini akan memastikan bahwa kekayaan budaya kita tidak hanya bertahan, tetapi juga dikenal dan dihargai secara global, menciptakan pemahaman dan apresiasi lintas budaya yang lebih luas.
Tanggung Jawab Kolektif untuk Masa Depan Aksara
Melestarikan aksara tradisional adalah tanggung jawab kita bersama. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau akademisi, melainkan panggilan bagi seluruh masyarakat, termasuk generasi muda. Mari kita jadikan peringatan Prof. Dr. Ismunandar sebagai pelecut semangat untuk bertindak. Dengan upaya kolaboratif, melalui kebijakan yang proaktif, pendidikan yang inklusif, dan partisipasi aktif komunitas, kita bisa memastikan bahwa “DNA peradaban” kita tetap hidup, berkembang, dan terus menjadi kebanggaan bangsa, jauh dari ancaman amnesia budaya yang mengintai. ***
[…] (Kemendikdasmen) melakukan usaha pelestarian bahasa daerah. Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin bahasa daerah merupakan jati diri yang harus jaga. Indonesia merupakan negara dengan jumlah bahasa daerah […]