[OPINI] Tragedi Kanjuruhan: Belajar atau Sekadar Melupakan? Seribu Hari dan Luka yang Belum Sembuh

Oleh : Bachtiar Djanan

Periset sosial budaya yang berasal dari kota Malang, dulu pernah aktif sebagai suporter Arema

DeMalang.ID-Sudah seribu hari berlalu sejak malam kelabu di Stadion Kanjuruhan itu. Tiga tahun kurang sedikit, waktu yang seharusnya cukup untuk memulihkan dan merenungi. Namun, bagi jagat sepak bola Indonesia, duka Kanjuruhan seperti bayangan yang enggan pergi.

Ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah kita sungguh-sungguh sudah mengambil pelajaran dari tragedi ini, atau kita sekadar berusaha menguburnya dalam ingatan?

Stadion itu kini berdiri gagah, dengan wajah baru yang berkilau. Stadion Kanjuruhan yang sudah direnovasi telah diresmikan oleh Presiden Prabowo, dan kembali menjadi arena sorak sorai bagi supporter Arema FC. Sebuah “kebangkitan” yang cepat, seolah ingin segera melipat sejarah kelam.

Namun, di balik kemegahan fisik itu, jiwa-jiwa dari 135 nyawa yang terenggut dalam tragedi berdarah Kanjuruhan sampai saat ini belum mendapatkan keadilan yang semestinya dari pihak-pihak yang terkait.

Kita bisa membaca biaya renovasi stadion mencapai Rp 357 miliar, sebuah angka fantastis. Bandingkan dengan Rp 1,07 miliar restitusi yang dikabulkan bagi keluarga korban. Ini bukan sekadar hitungan, melainkan sebuah pernyataan telanjang tentang prioritas kita. Fisik boleh baru, tapi luka di hati belum tentu.

Sebab, Kanjuruhan menolak untuk dilupakan begitu saja. Data menunjukkan, pasca-Tragedi Kanjuruhan, ternyata masih terjadi 18 insiden kericuhan sepak bola yang tercatat hingga Juni 2025. Dari bus tim Thailand yang dilempari pada Desember 2022, gesekan antar suporter di berbagai stadion sepanjang 2023 dan 2025, hingga pelemparan bus Persik Kediri di Stadion Kanjuruhan sendiri pada 11 Mei 2025.

Peristiwa terakhir itu, di stadion yang baru direnovasi, adalah pukulan telak. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa seperti Kanjuruhan, insiden ini berteriak. Ia menunjukkan bahwa meskipun dinding sudah diperbarui, meskipun rumput lapangan telah hijau kembali, api amarah dan benih kekerasan masih membara di bawah permukaan. Benih ini belum tercabut tuntas.

Lalu, bagaimana dengan keadilan? Proses hukum Kanjuruhan adalah pil pahit lainnya. Hanya segelintir tersangka, yang diproses secara hukum dan divonis, yaitu panitia pelaksana, security officer, beberapa perwira polisi, dengan hukuman yang berkisar antara satu hingga dua setengah tahun penjara.

Namun, sosok-sosok yang disebut-sebut paling bertanggung jawab, seperti para penembak gas air mata, dan orang-orang yang seharusnya bertanggungjawab secara institusional, seolah lenyap dari jerat hukum. Ini adalah cermin buram dari wajah keadilan di negeri ini.

Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa tragedi berdarah Mei 1998, yang sampai hari ini juga masih menggantung, dan rasa keadilan juga belum didapat oleh keluarga korban. Kanjuruhan berisiko menjadi catatan sejarah lain tentang impunitas yang merusak sendi kepercayaan publik.

Di tengah kekecewaan ini, suara-suara perjuangan tak pernah lelah bersenandung. Ada Pak Midun, yang mengayuh sepedanya ribuan kilometer sebagai bentuk doa dan protes. Ada Narendra Wicaksono, yang membawa semangat Kanjuruhan hingga ke Tanah Suci, menyuarakan jeritan keadilan ke ranah global.

Para seniman seperti Iwan Fals, Iksan Skuter, dan banyak seniman yang lain, telah mengabadikan duka ini dalam nada, mural di dinding kota, dan menjadi monumen bisu yang tak bisa dihapus. Mereka adalah penjaga api ingatan, menegaskan bahwa Kanjuruhan adalah tentang kemanusiaan yang harus dijunjung, bukan hanya statistik yang bisa dilupakan.

Seribu hari. Jeda yang cukup panjang, namun keadilan sejati masih terasa jauh. Stadion Kanjuruhan memang sudah kembali riuh, tetapi pertanyaan fundamentalnya tetap: sudahkah kita belajar?

Daftar panjang insiden kericuhan pasca-Kanjuruhan menunjukkan bahwa kita belum banyak belajar. Atau pembelajaran masih belum merata, belum konsisten, dan yang inti adalah belum menyentuh akar masalah.

Untuk benar-benar belajar dari Kanjuruhan dan mencegah tragedi serupa, kita harus berani menatap ke dalam dengan jujur dan merobek lapisan-lapisan pembenaran. Ini tentang membangun kembali hati dan kepercayaan yang roboh, bukan hanya tentang dinding beton.

Akuntabilitas harus ditegakkan secara menyeluruh. Tidak hanya pada individu di level operasional, melainkan juga pada rantai komando dan pembuat kebijakan yang mungkin abai.

James Reason, profesor psikologi Inggris dengan Teori Kegagalan Sistem-nya, menjelaskan bahwa tragedi besar jarang disebabkan oleh satu kesalahan tunggal, melainkan akumulasi dari berbagai kelemahan di seluruh lapisan organisasi, mulai dari kebijakan, prosedur, hingga eksekusi di lapangan.

Oleh karena itu, apa yang terjadi dalam kasus hukum Tragedi Kanjuruhan yang hanya menghukum “pelaku di ujung” tanpa menyentuh akar masalah sistemik, ini adalah sebuah bentuk kegagalan belajar.

Negara, federasi sepak bola, dan klub harus lebih bertanggungjawab dan berani mendekat ke keluarga korban, mendengarkan duka mereka, dan mengusahakan restitusi yang adil secara moral, bukan hanya prosedural. Membangun kultur sepak bola yang aman dan edukatif, tempat dialog diutamakan dan kekerasan dikikis habis, menjadi sebuah keharusan.

Gate 13 di Stadion Kanjuruhan dan kisah-kisah di baliknya akan menjadi pengingat abadi bagi generasi mendatang tentang konsekuensi dari kelalaian dan pengabaian nilai kemanusiaan. Sebab, sebuah komunitas memerlukan jangkar untuk mempertahankan ingatannya.

Seperti yang dijelaskan oleh sosiolog Prancis, Maurice Halbwachs, dalam konsep memori kolektif, peristiwa mengerikan seperti Kanjuruhan membentuk ingatan bersama sebuah komunitas, yang tidak bisa begitu saja dihapus oleh waktu atau renovasi fisik.

Kanjuruhan adalah luka bangsa yang masih menganga. Untuk menyembuhkannya, kita harus berani mengakui bahwa pembelajaran sejati belum usai.

Hanya dengan begitu, Kanjuruhan tak akan lagi menjadi gema bisu dari kematian. Melainkan menjadi suara keras yang menyerukan perubahan, dan sebuah harapan akan kepastian bahwa sepak bola Indonesia benar-benar berbenah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *