Pesantren Miftahul Huda, Pesantren Tertua di Indonesia

DeMalang.IDSebuah masjid berkubah kembar mencolok berdiri di antara permukiman padat penduduk di Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Berpoles cat warna hijau tepat berada di Jalan Gading Pesantren. Sepanjang jalan terpampang tulisan Asmaul Husnah. Masjid bernama Baiturrohman ini menjadi penanda Pondok Pesantren Miftahul Huda (PPMH) atau lebih dikenal Pondok Gading Kota Malang.

Pesantren Miftahul Huda mendapat anugerah sebagai salah satu dari 100 pesantren tertua dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Total santri sebanyak 600-an santri yang terdiri atas santri putra 400 dan santri putri 200. “Pondok Gading merupakan pondok tertua ketiga di Indonesia. Berdiri 1768 oleh KH Hasan Munadi,” kata Gus Fuad Abdurrohim Yahya.

KH Hasan Munadi wafat pada usia 125 tahun. Ia mengasuh pondok pesantren selama hampir 90 tahun.  Selepas KH Hasan Munadi, dilanjutkan KH Ismail pada 1858. Selepas KH Ismail berpulang, pada 1935, KH Muhammad Yahya meneruskan sebagai pengasuh. Secara silsilah, katanya, Kiai Yahya memiliki garis keturunan dengan Sunan Gunung Jati Cirebon.

Dalam buku Sejarah Biografi KH Yahya merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Ia membersamai komandan batalyon tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR), Mayor Sulam Syamsun. Turut serta merancang, menyusun strategi perang gerilya bersama santri dan rakyat di Kota Malang. Saat KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 10 November 1945, KH Yahya bersama ratusan ribu pejuang ikut bertempur di garis depan. Atas permintaan Panglima BKR Divisi Untung Soeropati, Mayor Jenderal Imam Soedja’i.

KH Muhammad Yahya wafat 2019, saat ini diasuh generasi keempat yakni putra KH Muhammad Yahya. Antara lain Gus Ahmad Arif, Gus Athoillah, dan Gus Fuad Abdurrohim Yahya. Para santri berasal dari Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sebagian besar merupakan mahasiswa dan sebagian pelajar SMP dan SMA. Sejumlah tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren ini antara lain bekas Bupati Lumajang As’at Malik, Wali Kota Malang Sutiaji dan Staf Khusus Wakil Presiden yang juga Ketua PBNU Robikin Emhas.

Ahli Hisab

Pesantren Gading dikenal dengan ilmu hisab, sehingga menjadi rujukan umat muslim untuk menentukan awal hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maupun awal puasa Ramadhan. “Sehingga banyak umat muslim yang menanti hasil hisab dari Pesantren Gading,” katanya.

Setiap pengurus memiliki kepekaan untuk bertahan dan demi regenerasi yakni mulai diajarkan  ilmu agama sejak kecil. Tujuannya untuk mempersiapkan estafet kepemimpinan selanjutnya. “Alhamdulillah Pondok Gading bisa ada sampai saat ini, karena istiqamah mengajarkan ilmu agama dan kebaikan. Ini semua tidak lain adalah karena ke ikhlasan, ketulusan, dan tirakat doa-doa dari pendiri dan penerusnya,” ujarnya.

Pondok yang beralamat di Jalan Gading Pesantren Nomor 38 Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen, Kota Malang senantiasa diingat bagi para santrinya. Salah satunya M. Jazuli, yang mengenyam pendidikan pesantren selama tujuh tahun sejak semester tiga di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. “Kami kerasan, di pondok fleksibel. Santri bisa sekolah di luar,” kata Jazuli.

Kini, Jazuli boyong atau pamit ke pengasuh setelah menyelesaikan kuliah. Para santri bebas kuliah dan sekolah, namun pukul 18.00 WIB wajib berada di pondok. Mereka akan mengikuti beragam aktivitas di pesantren yakni Madrasah Diniyah setelah salat Isyah sampai pukul 21.00 WIB. Setelah itu, para santri bisa kembali ke asrama untuk mengaji . “Ada santri yang biasa ngaji sunah atau istighotsah sampai dini hari,” ujarnya.

Jazuli turut mempelajari ilmu hisab unuk menghitung waktu dan tanggal awal Syawal. Ilmu hisab menjadi salah satu pelajaran yang khas diajarkan di Pesantren Gading. Mereka diajarkan dari modul karangan ustadz senior. Sehingga, kadang penentuan awal puasa Ramadhan atau Idul Fitri berbeda dari ketentuan dari Nahdlatul Ulama yang cenderung menggunakan metode rukyat. “Selama saya di sini, dua kali Idul Fitri tidak sama dengan NU,” katanya.

Selama menuntut ilmu agama di Pondok Gading, Jazuli tak bisa melupakan sosok KH Muhammad Yahya yang meninggal 2019 silam. Seorang kiai yang tawadhu atau bersikap rendah hati kepada semua orang termasuk santri. Ia pernah bermimpi disabet dan seketika terjaga. “Saya cape belum salat isya. Tiba-tiba didatangi Mbah Kiai dini hari,” katanya.

Rata-rata, katanya, para santri belajar antara enam sampai tujuh tahun. Bahkan seorang santri bernama Abdusalam menjadi santri selama 20 tahun. Lantas menikah dan boyong. Menuntut pendidikan agama selama 20 tahun, katanya, lantaran kerasan dengan lingkungan pondok yang flesibel.

“Sudah lulus bisa yambi dengan bekerja dan mengajar,” ujarnya. EKO WIDIANTO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *