Soal Masa Keemasan dan Senjakala Rezim, Indonesia Bisa Belajar dari Majapahit

DeMalang – Matahari baru terbit di langit biru Patukangan, saat ini berada di wilayah Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, ketika ribuan rakyat Majapahit berorak-sorai menghaturkan pujian. Ungkapan kekaguman dan rasa cinta kepada raja mereka, Hayam Wuruk, mengalun di udara, pagi itu.

Diiring oleh para pujangga dan para pejabat, Hayam Wuruk hadir di tengah rakyat jelata yang memujanya itu. Sang Raja mampir untuk beristirahat di tengah perjalanan keliling wilayah kekuasaannya di wilayah timur Pulau Jawa.

Saat itu, Hayam Wuruk membagi-bagikan harta kepada rakyat yang menyambutnya.

Malam sebelumnya, Hayam Wuruk menggelar pesta rakyat. Ada tarian, juga pertandingan gulat, yang digelar di tepian laut tersebut. Semua kemeriahan ini tercantum dalam Desawarnana, yang merupakan catatan Mpu Prapanca kala mengikuti perjalanan tersebut.

Pemerhati sejarah asal Malang, Asisi Suhariyanto, menyebut, Hayam Wuruk tak sekadar menonton pertandingan tersebut. Ia bahkan ikut menari dalam pertunjukan tersebut.

“Artinya, rakyat tidak takut kepada pemerintah. Ada perasaan sayang kepada pemerintah,” kata Asisi dalam salah satu videonya di Asisi Channel.

“Kedekatan ini juga dicatat lebih bagus lagi. Di daerah, di mana rakyat mengelu-elukan raja, ada orang yang kehabisan tempat. Mereka pun memutuskan naik pohon. Prapanca sampai mencatat, kalau Raja Hayam Wuruk berkeliling, selalu banyak pohon berbuah manusia,” sambungnya.

Selain itu, menurut Asisi, dalam Desawarnana, Hayam Wuruk telah merumuskan hubungan setara antara rakyat dan pemerintah. Ia menyebut hubungan tersebut bak antara singa dan hutan.

“Hutan memberi hidup kepada singa. Sementara, singa bertugas menjaga hutan,” ucap Asisi.

“Ini menunjukkan bahwa negara mempunyai keajiban menjga hak-hak rakyat. Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak warganya,” ia menambahkan.

Asisi kemudian membandingkan dengan masa ketika Majapahit sudah memasuki masa senjakala. Saat itu, seperti dicatat Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, kondisi berbalik 180 derajat.

“Kalau sampai ada laki-laki di jalan yang akan dilalui raja, dijamin laki-laki itu akan mati,” ucap Asisi.

“Yang boleh dilalui raja hanyalah perempuan dan anak-anak,” sambungnya.

Menurut penulis buku “Rahasia Nusantara” ini, ada dua penyebab yang mungkin menjadi alasan di balik tindakan kejam tersebut.

“Raja mungkin ingin jalan tersebut aman. Ada ketakutan sebetulnya dia,” kata Asisi.

“Yang kedua, memang rakyat takut kepada penguasa. Sudah tidak percaya lagi dengan perintah raja,” sambungnya.

Saat itu, hubungan antara pemerintah dan rakyat Majapahit sudah berada di titik toksik. Rakyat sudah tak percaya lagi dengan pemerintahan raja Dyah Ranawijaya, yang oleh Tome Pires disebut sebagai Batara Pohjaya.

“Rakyat Jawa pada masa itu sudah tidak percaya perintah raja karena mereka tidak menjadi tuan atas tanah mereka,” kata Asisi.

Lebih lanjut, Asisi menyebut ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari masa keemasan maupun keruntuhan Majapahit. Hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

“Yang paling menentukan adalah pecahnya relasi atau hubungan antara negara dan rakyat. Ketika rakyat sudah tidak percaya kepada pemerintah, saat itu hati-hati karena itu akan menjadi masa akhir,” tuturnya.

“Pertanyaan untuk teman-teman, kita konversi saja saat ini kita di masa emas atau akhir. Rakyat percaya nggak dengan pemerintah? Kemudian dengan penegakan hukum, bagaimana dengan penegakan hukum? Ketiga adalah gerusan dari luar, ada atau nggak? Kalau bisa dibandingkan, kita masuk masa emas atau masa akhir?” tandasnya. Dendy Gandakusumah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *