DeMalang.ID – Lebaran Idul Fitri selalu dirayakan dengan meriah dan penuh suka cita. Orang-orang berpenampilan khusus, saling kunjung ke rumah kerabat maupun tetangga. Tidak lupa, berbagai makanan istimewa turut disajikan.
Tradisi perayaan lebaran Idul Fitri di nusantara diperkirakan pertama kali muncul pada masa kesultanan Islam. Tradisi itu terus bertahan pada era kolonial Belanda. Lebaran tempo dulu tak kalah meriah dengan masa sekarang ini.
Inlands Niujar atau Tahun Baru Pribumi, begitu orang-orang Eropa dan pejabat kolonial Belanda menyebut perayaan Idul Fitri di Hindia Belanda. Istilah itu mereka gunakan mengacu suasana yang mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa.
Kaum priyayi dan rakyat jelata beriringan berangkat ke masjid melaksanakan ibadah Salat Ied. Anak muda dan pegawai bawahan tak lupa mengucapkan selamat kepada orang tua dan pejabat atasannya. Suara petasan semakin menambah semarak lebaran. Di daerah tertentu, meriam ditembakkan ke udara sebagai penanda Syawal telah tiba.

Priyayi, bupati sampai pamongpraja mengenakan pakaian baru terbaiknya. Atribut perlambang status kebangsawanan dan jabatan menambah kemewahan busana mereka dilengkapi sepatu ala orang Eropa. Bagi rakyat jelata, menjahit sendiri pakaian baru adalah pilihan utama.
Pesta selamatan digelar di pendapa kabupaten, dihadiri pejabat kolonial yang diundang agar hadir turut merayakan lebaran. Tidak hanya makan-makan, berbagai seni hiburan ikut ditampilkan agar pesta lebaran lebih semarak.
Snouck Hurgronje, Penasehat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggambarkan suasana meriah perayaan lebaran itu. Dituliskannya dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV.
Saking ramainya, pada 1904 ada pejabat kolonial yang ingin pemerintah Hindia Belanda melarang perayaan lebaran. Alasannya, dia memandang perayaan lebaran termasuk bentuk pemborosan yang berpotensi menguras uang pemerintah.
Tapi Snouck tidak setuju pemerintah membuat kebijakan melarang perayaan lebaran. Bagi masyarakat muslim di Hindia Belanda, Idul Fitri merupakan hari istimewa. Snouck justru menyarankan agar orang Eropa dan pejabat pemerintah menghormati perayaan lebaran.

Semarak lebaran terus berlangsung saban tahun selama masa kolonial. Masjid penuh sesak dengan jamaah, selain itu masyarakat pun berduyun-duyun berziarah ke makam tokoh muslim. Kepadatan juga tampak di Alun-alun, pasar maupun berbagai tempat rekreasi rakyat.
Meriahnya lebaran tempo dulu di berbagai penjuru daerah di Hindia Belanda sering dituliskan sejumlah surat kabar berbahasa Belanda. De Locomotief pada 28 Maret 1929 memuat foto suasana Idul Fitri di Batavia, Jakarta. Koran terbitan Semarang, Jawa Tengah itu menuliskan ribuan umat muslim ziarah ke Makam Habib bin Abu Bakar Alaydrus di Masjid Luar Batang sampai menyebabkan antrian mobil di dekat pasar ikan Batavia.
Surat kabar De Deli Koran menuliskan kemeriahan Idul Fitri di Medan yang jatuh pada 28 Desember 1935. Koran ini menulis ada sekitar seribu jamaah mengikuti salat Ied di lapangan sepakbola Medan. Istana Sultan Deli menggelar pesta, menyajikan berbagai hidangan dan penduduk menggunakan pakaian terbaiknya. Suara tembakan meriam menambah semarak.
Tradisi perayaan lebaran sempat tersendat di masa penjajahan Jepang. Suasana lebaran kembali normal pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga era saat ini. Pada masa kini, televisi selalu dipenuhi berbagai iklan produk untuk menyemarakkan lebaran. ZAINUL ARIFIN