DeMalang.ID–Wahyudi, nama samaran duduk bersimpuh di lantai. Memegang pensil, tangannya menari di atas kanvas putih. Tekun, ia membuat sketsa karakter super hero. Wahyudi merupakan salah seorang yang tengah mengikuti rehabilitasi melukis di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Radjiman Wediodiningrat Jalan Ahmad Yani, Desa Sumberporong, Kecamatan Lawang Kabupaten Malang.
Di ruang rehabilitasi, puluhan pasien tengah sibuk dengan beragam aktivitas. Mulai membuat kriya tenun, batik ciprat, bertani, beternak dan melukis. Selain Wahyudi, sejumlah pasien lain duduk berjajar menghadap meja panjang. Mereka memoles krayon aneka warna di atas selembar kertas.
Sayup-sayup musik mengiringi aktivitas mereka mengenal seni melukis. Wahyudi mudah beradaptasi dengan seni lukis, maklum sebelumnya ia bekerja di studio komik. Ia mendesain beragam karakter tokoh komik.“Sudah kerjaan saya sejak kuliah, jurusan desain grafis,” kata Wahyudi usai istirahat siang.
Setahun lebih, ia menjalani program daycare. Sebuah program bagi mantan pasien yang tetap ingin berkarya dan beraktifitas di rehabilitasi RSJ Lawang. Karakter kartun Thundercats yang ditonton di TVRI dulu menginspirasinya dalam melukis. Kini, ia tengah ditampung di sebuah Yayasan. Saban hari, ia bolak balik dari Yayasan ke RSJ Lawang.
Instruktur dan penanggungjawab ruang latihan kerja pria RSJ Lawang, Lulut Joko Mulyono telaten membimbing para pasien RSJ berkegiatan di ruang rehabilitasi. Lulut mendatangi satu per satu pasien yang tengah melukis. Di ruangan seukuran lapangan bola voli, dipajang beragam lukisan kanvas.
Lukisan di pajang menempel di dinding dan menempel di stand holder. Beragam aliran dan kisah yang pasien RSJ torehkan di atas kanvas. Ruangan mirip ruang pamer gelari seni. “Beberapa lukisan telah dipamerkan dalam pameran seni,” katanya.
Melukis, kata Lulut, merupakan kegiatan rehabilitasi khusus bagi pasein yang kondisinya stabil, tidak gelisah, dan tidak ada indikasi melukai orang lain dan diri sendiri. Tim rehab terdiri atas ada psikolog, perawat, pekerja sosial, terapis okupasi akan menilai para pasien. Serta memetakan minat dan bakat yang bisa dilakoni. “Pengobatan secara medis umum jalan. Rehabilitasi di bagian belakang,” kata Lulut.
Dalam penanganan pasien jiwa, katanya, dilakukan tiga langkah mulai preventif, kuratif dan rehabilitasi. Tahap awal rehabilitasi pasien akan menjalani terapi religius seperti pengajian atau puji-pujian, dilanjurkan terapi kelompok dengan menyanyi. Setelah itu, dilanutkan latihan vokasional sesuai minat seperti berkebun, membuat telur asin, peternakan, atau lukisan.
Rehabilitasi untuk Pemulihan
Kegiatan rehabilitasi dilangsungkan mulai pagi sampai pukul 11.00 WIB. Usai menjalani program rehabilitasi, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Rehabilitasi, katanya, merupakan aktivitas terapi yang terstruktur, menunjang pemulihan.
Khusus rehabilitasi melukis, mereka dibebaskan mencoret di atas kertas. Pasien diajak mengenal warna dan media melukis. Lantas diarahkan berbagai bentuk dan beragam media sesuai kemampuan. “Menumbuhkan kepercayaan diri. Menentukan warna juga membutuhkan percaya diri. Mengambil keputusan sendiri,” katanya.
Sedangkan, pendamping bertugas membantu dan memberi persetujuan untuk memilih warna. Pasien diberi kebebasan, termasuk memutar lagu mengiringi beraktivitas. Asal tidak mengganggu pasien yang lain.
Semua peralatan melukis, disediakan pihak RSJ. Lulut rutin mengajukan pengadaan kanvas, krayon, pensil dan cat minyak sesuai kebutuhan. Untuk menghasilkan karya lukis yang bagus, dibutuhkan waktu berbulan-bulan. Namun, kini sulit dilakukan lantaran pasca Covid-19 BPJS Kesehatan memberikan batas perawatan kejiwaan maksimal selama tiga pekan. “Sulit sampai bisa menghasilkan lukisan bagus,” katanya.
Sehingga kini, pasien cukup membuat background lukisan di atas kertas untuk kaligrafi dengan tulisan motivasi. Dulu sebulan, sekarang bikin sketsa sudah pulang. Lukisan ditinggalkan. Kini, Lulut mengubahnya dengan mengenalkan gambar background, lantas diberi tulisan motivasi. Dulu, katanya, sebagian lukisan diperjualbelikan. Hasilnya untuk para pengkarya.
Salah seorang pelukis asal Malang, rutin kontrol. Saat kontrol, ia tak lupa membawa peralatan melukis. Ia mampir ke rehabilitasi dan menyelesaikan lukisan di atas kanvas yang menempel di dinding. Sampai kini, rutin ke ruang rehabilitasi menyelesaikan lukisan.
Tak sebatas pekerjaan, Lulut memiliki latar belakang seni sejak sekolah. Sempat mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Namun, tidak tamat. Ia memilih menyelesaikan pendidikan di Sekolah Politeknik Kesehatan Surakarta, jurusan okupasi terapis. “Melukis menjadi media untuk membantu proses pemulihan,” katanya.
Lulut mengaku sedih sekaligus menjadi tertantang, saat mendengar pasien yang telah pulih kembali menjalani perawatan. Kesehatan mental, katanya, tak hanya tanggungjawab rumah sakit. Setelah kembali ke keluarga, maka keluarga, teman dan lingkungan berpengaruh besar. “Eh ketemu lagi. Apa yang kurang? Sebulan kembali lagi dengan kondisi memburuk. Secara fungsi menurun,” ujar Lulut.
Lulut menghadapi beragam pasien, sehingga harus mengenal karakter masing-masing. Seperti menghadapi pasien yang tiba-tiba mogok, menolak aktivitas melukis atau melawan secara verbal. Menghadapi kondisi demikian, Lulut memilih menghentikan aktivitas melukis. “Sudah tidak bisa dilanjutkan. Jika dipaksakan, bisa agresif,” katanya.
Ia sempat merawat pasien yang tidak mau diarahkan. Hanya berjalan-jalan di ruangan. Suatu ketika ia suka menyanyi dan mendengarkan lagu dewa. Setelah mendengarkan lagu dewa tenang dan bisa diajak melukis. Lantas ia menuangkan lukis di atas kanvas, bergambar hati berwarna merah (khas band Dewa) disertai titikan air mata. “Katanya, hatinya menangis. Saya ingat itu,” katanya.
Sedangkan salah seorang pasien lain menggambarkan pot mulai ukuran kecil, sedang, sampai besar. Saat ditanya Lulut, ia menyampaikan jika sesuatu dimulai dari kecil, sedang baru besar. “Melukis tidak hanya imajinasi, ada makna dan arti sendiri,” ujarnya.
Lukisan Sarat Makna
Psikolog RSJ Lawang, Daisy Prawitasari menuturkan lukisan menjadi media ekspresi apa yang dirasakan pasien secara artistik. Melukis merangsang panca indera dengan aktivitas kompleks mulai memilih warna, berimajinasi atas objek dan melukiskannya. “Memperbaiki kerja otak. Orang yang depresi, bisa mengeluarkan dukanya melalui lukisan. Menjadi salah satu terapi ekspresif untuk mengeluarkan apa yang dialami,” katanya.
Paling tidak, katanya, pasien bisa diajak komunikasi. Biasanya dengan beban berat, hanya berdiam diri dan tidak mau beraktifitas. Selesai menggambar biasa kooperatif, dan bisa diajak berinteraktif. Sejumlah karya lukis pasien pernah dipamerkan dalam beragam pameran seni rupa. Salah satunya pameran yang digelar saban tahun oleh Kementerian Kesehatan.
Salah satu karya lukis pasien mencuri perhatian kurator dari Museum Basuki Abdullah. Lukisan mirip dengan karya lukis Basuki Abdullah berjudul Gatut Kaca, Pergiwa dan Pergiwati. Lukisan tersebut sempat dipamerkan di museum Basuki Abdullah di Jakarta. “Dipinjam untuk pameran,” kata Daisy.
Sebuah pameran lukisan karya pasien di lima RSJ dilangsungkan di Galeri Nasional pada 2019. Kurator seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mendatangi lima RSJ, para pasien diminta melukis bebas. Lantas, kurator memilih lukisan yang layak pameran. Salah satunya lukisan perempuan berambut pendek. Saat pelukis ditanya lukisan siapa? Ia menunjuk Daisy.
Sebuah lukisan dua sandal, semuanya sebelah kiri mencuri perhatian Daisy. Lukisan tersebut merupakan ekspresi pelukis. Sang pelukis, merupakan seorang perempuan yang patah hati. Ia depresi pasca putus hubungan dengan sang kekasih. Lukisan tersebut kini tersimpan di museum RSJ Lawang. “Personifikasi lukisannya sangat kuat,” katanya.
Juru bicara RSJ Lawang, Ribut Supriyatin menjelaskan jika melukis menjadi terapi yang dilakukan di RSJ Lawang sejak lama. Ribut yang bekerja selama 41 tahun ini menuturkan awalnya melukis dilakukan di atas papan dan kain bungkus tepung. Sehingga banyak lukisan yang tak awet dan rusak. Kemudian beralih ke media kanvas yang efektif menuangkan ide lukisan pasien RSJ. “RSJ dulu dianggap momok. Seolah tempat pembuangan,” kata Ribut.
Wahyudi bersama teman-temannya tetap tekun menorehkan pensil di atas kerta dan kanvas. Lagu cadas yang keluar dari tape recorder mengiringi aktivitas rehabilitasi mulai pagi hingga siang menjelang. Tanpa banyak cakap, tangan mereka menari di atas kertas putih. EKO WIDIANTO